Bismillahir-Rahmaanir-Rahim ...
Kisah ini dikirim oleh sahabat kami.
Semoga bisa menjadi sebuah inspirasi untuk sahabat muslimah DC.
----
Orang bilang, selalu ada godaan besar saat kita berpegang teguh pada
sebuah keputusan. Bagaimana seseorang menanggapi godaan itu, apakah akan
tetap kuat pada pendirian atau goyah,
tergantung masing-masing orang. Saya pernah berada dalam situasi itu,
mendapat materi melimpah, tetapi harus melepas kewajiban saya sebagai
seorang muslimah.
Saya adalah wanita sederhana, dibesarkan oleh
keluarga yang memiliki pikiran modern. Sejak kecil, saya dibebaskan
untuk mengambil keputusan apapun.
Orang tua saya tidak pernah
meminta saja harus masuk sekolah mana, harus masuk jurusan apa, tidak
seperti orang tua kebanyakan, yang sering memaksa anak mereka melakukan
sesuatu yang bertentangan dengan kata hati.
Maka saya tumbuh
menjadi gadis mandiri yang ambisius. Menurut saya, ambisius itu bagus,
karena tanpa sikap ambisius, seseorang hanya akan jadi pemalas yang
membebani orang lain.
Sikap itu membuat saya selalu mendapatkan
nilai-nilai terbaik di sekolah. Mendapat beasiswa menjadi hal biasa,
karena tanpa mengajukan beasiswa sekalipun, sekolah selalu mengajukan
saya untuk menerima beasiswa berprestasi.
Tentu saja saya
bersyukur, karena itu adalah bukti bahwa saya tidak main-main dengan
pendidikan, saya juga bisa meringankan beban kedua orang tua. Bagi saya,
pendidikan adalah jalan terbaik untuk pegangan masa depan.
Setidaknya, kelak saya akan menjadi ibu, maka pengetahuan adalah salah
satu pondasi kuat untuk mendidik anak-anak, dengan agama sebagai pondasi
agama tentunya.
Walaupun ambisius, saya tidak meninggalkan
nilai-nilai agama yang sudah diberikan kedua orang tua saya. Saya tidak
pernah dipaksa memakai busana muslimah atau jilbab.
Kesadaran
itu datang saat saya duduk di kelas 3 SMA. Ada keyakinan kuat untuk
memperbaiki penampilan saya. Maka sejak saat itu, saya selalu memakai
jilbab. Sedikit demi sedikit belajar memakai jilbab sesuai yang
diperintahkan.
Bukan hal yang mudah, saat itu masih sedikit
yang memakai jilbab. Kadang saya masih iri dengan teman-teman saya yang
bisa memakai pakaian dengan jenis yang beragam. Beruntung, saya tetap
bertahan dengan keputusan saya.
Tahun berlalu dan saya lulus
dari sebuah perguruan tinggi sebagai Sarjana Akuntansi di tahun 2003.
Sama seperti lulusan pada umumnya, saya mulai melempar surat lamaran
kerja di berbagai perusahaan.
Dengan nilai yang memuaskan,
bukan hal yang sulit untuk menerima panggilan kerja. Hingga saya
berhasil melewati empat tahapan tes di sebuah bank swasta yang cukup
terkenal.
Saat memasuki tahap wawancara, pihak bank tersebut
menawarkan posisi dan jabatan yang jarang didapat oleh fresh graduate
seperti saya. Menurut mereka, saya punya kemampuan analisis yang baik,
sehingga sangat mungkin ditempatkan di posisi yang lebih tinggi
dibanding posisi yang saya lamar.
Saya bahagia, seperti
mendapatkan berkah yang besar sekali. Tetapi kebahagiaan saya hanya
sesaat, karena pihak bank meminta saya untuk mengikuti salah satu syarat
yang ada, yaitu memakai seragam untuk karyawati.
Seragam
tersebut memakai kemeja, blazer lengan panjang, dan rok selutut. Rambut
harus diperlihatkan dan digulung rapi. Dengan kata lain, saya harus
melepas jilbab dan pakaian muslimah yang melekat di tubuh saya.
Menanggapi hal itu, saya mencoba melakukan tawaran untuk memakai
seragam rok panjang dan memakai jilbab yang rapi. Tetapi peraturan bank
tersebut tidak bisa dengan mudah diganti begitu saja.
Sehingga
mereka kembali menawarkan gaji dan bonus yang sangat besar. Jujur, saya
manusia biasa, jumlah uang yang ditawarkan sangat banyak. Saya bisa
memberangkatkan orang tua ke Tanah Suci, itu adalah salah satu cita-cita
saya. Saya bisa mewujudkan cita-cita itu dalam waktu beberapa bulan
saja.
Hati saya seolah mengalami pertengkaran. Pihak bank
bersedia menunggu jawaban saya selama tiga hari. Selama tiga hari, saya
curhat dengan orang tua terlebih dahulu. Mereka menganggap saya sudah
dewasa untuk mengambil keputusan, sehingga semua diserahkan kembali pada
saya.
Batin saya belum tenang, kesempatan tidak datang dua
kali. Tetapi apakah saya harus mengorbankan perintah Allah SWT demi
semua materi itu? Setelah melakukan Salat Istikhaarah, saya mantap untuk
menolak tawaran itu. Saya menolaknya dengan halus, pihak bank juga
melepas saya dengan baik.
Tidak apa-apa, mengapa takut
kekurangan materi, karena saya yakin, Allah SWT lebih kaya dibandingkan
tawaran yang diberikan. Mengenai impian untuk kedua orang tua saya, naik
haji, pasti ada jalan. Niat baik selalu mendapat jalan yang baik, saya
percaya akan hal itu.
Dua bulan setelah kejadian tersebut, saya
diterima bekerja di sebuah bank pemerintah. Memang, gajinya tidak
sebesar tawaran yang lalu, tetapi hati ini tenang karena saya diizinkan
memakai seragam yang sesuai.
Jika percaya akan sebuah
keyakinan, maka itulah yang terjadi. Pihak bank menilai prestasi kerja
saya sangat bagus. Bonus mengalir hampir setiap bulan. Sedikit demi
sedikit saya menabung, untuk masa depan saya dan tabungan haji kedua
orang tua.
Alhamdulillah, di tahun 2008, kedua orang tua saya
berangkat ke Tanah Suci. Saya tidak ikut, biarlah kedua orang tua saya
berangkat terlebih dahulu, saya yakin suatu saat kelak akan menyusul ke
sana.
Sekarang, kehidupan saya lebih baik. Saya juga sudah
menikah di tahun 2009. Bersama suami saya, kami sudah punya tabungan
sendiri untuk pergi ke Tanah Suci, semoga impian kami terkabul beberapa
tahun lagi.
Itulah kisah saya yang sempat goncang saat melihat
sejumlah materi yang ditawarkan. Tetapi keyakinan saya memilih untuk
tetap di jalan-Nya, dan saya tidak menyesali keputusan tersebut, tidak
sedikitpun.
Semoga kisah ini bisa menjadi inspirasi bagi Anda ...
Wallahu a'lam bishshawab, ..