Bisimillahi Minal Awwali wal Akhiri ...
Masih di siang yang sama, dan
aku harus menunggu bis yang akan membawaku pulang ke rumah agar tak
terlalu larut sesampainya nanti. Kulihat bis yang biasa membawaku,
berjalan perlahan seperti muatannya telah keberatan. "Ahhh... harus
berdiri lagi deh," batinku. Aku menjejakkan kaki ke dalam bis dan memang seperti sudah tak ada tempat duduk manis di sana.
Aku memaksakan diri masuk ke arah tengah, berharap masih ada bangku
kosong yang menyisip di sana. Hasilnya nihil. Tetapi aku masih bisa
lebih tenang karena perjalananku dua kali lebih jauh dari biasanya hari
ini.
"Duduk di sini aja non, aku udah deket kok," sapa seorang
pria yang tengah duduk satu baris dari bangku tempatku berdiri. Karena
kaki sudah pegal, dengan tanpa sungkan akupun beranjak duduk di
bangkunya. Menikmati kursi tersebut aku tak sadar bahwa penumpang sudah
semakin sepi dan pria yang tadi memberikanku kursinya masih berdiri di
sana. Aku mulai memperhatikannya. Baik jugadia memberiku kursi ini
sekalipun dia juga masih harus menempuh jarak jauh.
Beberapa menit kemudian, bangku di sebelahku kosong. Aku bergeser. Dan iaduduk di sebelahku.
"Aryo," ia menyodorkan tangan dengan ramah. "Elin." Aku balik menyodorkan tangan, dan di situlah awal perkenalanku dengan Aryo.
***
Sudah 4 bulan ini hatiku diliputi bunga-bunga. Aku semakin bersemangat,
tak peduli jalanan macet, pekerjaan berat, atau masalah di kantor,
semua terasa baik-baik saja sejak kehadiran Aryo.
Belakangan
ini ia selalu menjemputku, kami akan pergi sekedar makan dan ngobrol
terlebih dahulu sebelum menjalani rute bis kami.
Sekalipun
tubuh kelelahan, setidaknyaaku senang dan cukup puas bisa selalu
berlama-lama dengannya. Rasanya seisi hariku dipenuhi dengan namanya,
dengan keceriaan, kelembutan, keromantisan serta pengetahuannya yang
luas itu. Ia hampir selalu membuatku terkesima karena iatahu banyak hal.
Singkat kata, ia merebut hatiku.
Dalam hanya 4 bulan saja, hatiku terkait terlalu erat. Aku enggan
melepaskan, dan tak ingin melepaskannya. Aku berharap hubungan kami ini
segera berlanjut ke arah yang lebih serius.
"Ar, ibuku bertanya-tanya tentang kamu lho. Dia ingin bertemu kamu, karena tak puas mendengarkan cerita dariku,"
"Hmm... ok. Nanti kita atur ketemuan dengan ibumu ya, sayang." Aryo
terlihat tenang dan seperti yakin jalan yang akan kami tempuh ke
depannya. Itulah sebabnya aku tak pernah khawatir dan curiga apa-apa
terhadapnya.
Dan mungkin harapanku terlalu tinggi. Aku terlalu naif saat berhadapan dengan cinta. Hingga aku harus bertemu luka.
***
Sudah seminggu ini Aryo bilang sedang sibuk. Aku jadi lebih sering
pulang sendiri. Komunikasi juga agak sedikit sulit, dan hatiku mulai
bertanya-tanya. Adaapa dengannya ya?
Hari itu aku tak ingin
langsung pulang. Walaupun aku tahu akan tiba di rumah larut malam jika
tak bergegas mencari bis. Apalagi tak adaAryo yang menemaniku. Ah, tak
apa. Toh biasanyaaku juga seorang diri.
Menikmati secangkir hot
chocolate dan pancake rumahan buatan sebuah cafe kecil di sudut jalan,
akupun puas. Aku merasa lebih tenang dan dapat berpikir jernih. Aku akan
pulang, beristirahat dan berharap Aryo akan menghubungiku keesokan
harinya.
Dan sesaat setelah aku hendak menjejakkan kaki keluar,
aku terdiam. Aku melihat sesosok pria yang kukenal beberapa lama ini.
Aryo. Ia menggandeng tangan seorang wanita yang anggun masuk ke dalam
mobil. Dengan membawa kantungan plastik belanjaan yang cukup banyak
jumlahnya. Sedang apa ya dia?
Tak ingin membuatnya terkejut, aku memutuskan menahan diri dan bertanya via telepon sesampainya aku di rumah nanti.
"Ar, kamu kenapa sih susah dihubungi akhir-akhir ini?" tanyaku menahan
emosi, karena aku tak ingin ia menganggapku terlalu cemburu atau
mengekang.
"Aku sedang sibuk saja sih belakangan ini, maaf ya," katanya.
"Hmmm... kalau memang banyak yang harus kamu kerjakan dan kamu merasa keberatan, aku mau lho ngebantu kamu,"
"Nggak perlu Lin. Untuk urusan kali ini, kayaknya aku nggak bisa
melibatkan kamu," suaranya mulai bergetar. Akupun curiga, dan merasa
was-was, ada apa sih ini?
Belum sempat aku bertanya, Aryo sudah mengambil suara dulu.
"Lin, aku boleh bertemu kamu? Aku tahu ini sudah malam. Tapi aku pengen
banget peluk kamu," kata-kataAryo spontan membuatku senang. Aku sendiri
tak tega dengan suaranya, ia terlihat sedang membutuhkan aku saat ini.
"Iya, aku akan ijin ibu. Dia pasti mengerti kalau memang ada yang penting."
"Tidak. Aku tidak akan lama kok, aku akan segera sampai di rumahmu 30
menit lagi. Aku janji, nggak akan lama." Teleponpun ditutup dan aku
dengan cemas menunggu kedatangan Aryo pertamakali ke rumahku.
***
"Aku udah di depan." Demikian bunyi SMSnya. Segera aku berlari ke depan
dengan membawa jaket lengkap dengan tas slempangku. Aku tak yakin Aryo
akan masuk, sehingga aku bersiap membawa perlengkapan pergi.
"Kita nggak usah ke mana-mana Lin, di sini aja. Nggak lama kok. Nggak
enak udah terlalu malem." Aku mengangguk. Dan tiba-tiba ia meraihku,
memelukku dalam-dalam dan erat. Tubuhnya kurasakan bergetar, mungkin dia
menangis. Aku hanya membalas pelukannya lebih erat, dan menenangkan
dia.
"Kamu kenapa sih Ar?"
"Lin, aku udah salah sama kamu. Seharusnya hubungan ini nggak boleh terjalin."
"Kenapabisa begitu?"
"Aku akan menikah bulan depan dengan tunanganku."
Kalimat itu membuatku terkejut dan spontan melepaskan tanganku dari tubuhnya. Aku terdiam sejenak,tak percaya.
"Kamu mempermainkan aku, Ar?" aku bertanya lirih tak jelas, berusaha meyakinkan diri kalau ini cuma mimpi.
"Aku nggak berniat mempermainkan kamu Lin. Aku beneran jatuh cinta sama
kamu sejak pertama kali kita bertemu. Sayangnya, pada saat itu statusku
tidak lagi single. Dan, kamu boleh bilang aku egois. Tetapi, kamu harus
tahu bahwa aku nggak main-main, perasaanku ini beneran samakamu!"
Aku bingung dengan penjelasan Aryo yang terdengar hanyamenguntungkan dirinya saja.
"Mungkin memang kita bertemu di waktu yang nggak tepat, itu saja," sambungnya.
"Ok. Tak usah berbicara lagi. Aku cukup tahu ini, dan aku sudah bisa
menebak selanjutnya apa," aku tertunduk kecewa dan mengambil
ancang-ancang masuk ke dalam rumah. Aryo meraih tanganku, berusaha
menarikku kembali ke pelukannya.
"Maaf Lin... maaf... tapi
percayalah, perasaanku nggak akan berubah. Aku akan tetap sayang kamu,"
matanya berkaca-kaca. Yang hanya kupandang tanpa balasan sepatah
katapun.
Aku beranjak masuk. Menahan semua air mata yang nyaris tak terbendung di depannya tadi.
Akhirnya, kutumpahkan semua isak tangisku di atas tempat tidurku.
Memungut semua harapanku yang telah kugantung tinggi-tinggi,dan
kumasukkan lagi ke dalam hati.
Tuhan... mengapa sih KAU harus mempertemukan kami kalau pada akhirnya kami tak bisa saling memiliki?.
Wallahu a'lam bishshawab, ..