Bismillahir-Rahmaanir-Rahim.
Pelajaran hidup kali ini diceritakan
seorang teman melalui email, sedikit saya ubah agar bisa menjadi pesan
yang penuh makna untuk kita semua.
Siapapun yang mengenal
diriku pasti menyebutku adalah wanita yang sempurna. Dibesarkan di
lingkungan keluarga yang berkecukupan, dikelilingi orang-orang yang mencintaiku, memiliki segudang prestasi, mendapatkan pekerjaan yang bagus dan sahabat-sahabatku berlimpah.
Sejak kecil aku selalu merasa dicintai dan hidupku benar-benar lengkap
sempurna setelah aku mendapatkan jodoh suami yang begitu baik dan
mencintai diriku.
Aku terlahir menjadi seseorang yang ceria,
pribadi yang menyenangkan dan periang. Aku suka sekali tertawa dan
menghibur orang-orang di sekelilingku.
Sesekali bersikap
manja, itupun hanya pada keluarga dan suamiku. Aku benar-benar bahagia
lahir dan batin. Tak pernah sekalipun aku berhenti bersyukur untuk semua
yang diberikan Allah padaku.
Sampai suatu ketika di hari
ulangtahunku yang ke-28, aku mendapat sebuah kado. Kado itu bukanlah
hadiah berupa benda. Kado itu adalah ucapan selamat yang dibarengi
dengan tersingkapnya sebuah rahasia keluarga. Rahasia lama yang dipendam
kedua orangtuaku dalam-dalam di hati mereka.
Di tengah pesta
Barbeque yang diadakan di rumahku, bertepatan dengan hari ulangtahun
sekaligus ulangtahun pernikahanku yang ke-4, aku mendapat telepon itu.
Ketika itu si penelepon langsung mengucapkan “Selamat Ulang Tahun,
Fitriani! Sudah saatnya kamu tahu kalau kamu adalah anak haram Ayahmu,
anak hasil selingkuhannya.” Dan telepon langsung ditutup.
Aku
tertawa dan berpikir ini pasti orang iseng atau salah satu temanku yang
ingin mengerjai. Tanpa mengambil hati apapun kata si penelepon, aku
kembali menikmati pesta. Bercanda, bergembira dan melepas rindu dengan
orang-orang yang kusayangi, Ibu, Ayah, ketiga adikku, suami, dan bayi
mungilku.
Itu adalah salah satu ulang tahun terindah dalam
hidupku. Aku bahkan bernyanyi bersama Ayah, berjoget gembira bersama
adik-adikku dan pesta itu berakhir dengan permainan air memakai selang
taman, kami semua saling membalas menyiram setelah mereka membuatku
basah dengan seember air.
Pesta sudah usai ketika aku
membersihkan dapur bersama Ibu. Awalnya kami hanya sekedar membicarakan
berita-berita terbaru seputar keluarga, film terbaru untuk kami tonton
bersama sampai kemudian tanpa sengaja aku menceritakan soal si
penelepon.
Aku sedang mencuci piring dan saat aku setengah
bercerita, Ibu menjatuhkan seluruh piring kotor yang akan dibawanya
padaku ke lantai. Ibu berdiri di tengah dapur, tubuhnya gemetar dan
wajahnya pucat pasi. Saat itu hatiku bisa merasakan ada yang salah. Tapi
sungguh, aku sendiri takut mendengar kebenarannya.
Keceriaan
yang sepanjang hari mewarnai rumahku, hilang dalam sekejap. Ibu terus
menangis dalam pelukan Ayah tanpa kuketahui sebabnya. Semua anggota
keluarga bertanya ada apa. Tapi aku tak sanggup berucap. Lalu menjelang
tengah malam, terungkaplah semua rahasia itu di hadapan suami dan ketiga
adik-adikku.
Aku, adalah anak Ayah dari seorang perempuan
lain. Ibuku bukan Ibu yang sekarang sedang menangis pilu di hadapanku.
Perempuan itu lebih muda sepuluh tahun lebih muda dari Ibu dan dia
meninggal dunia saat melahirkan aku.
Tujuh hari setelah
kelahiranku, Ayah baru tahu soal keberadaanku dan ia mengambilku dari
Rumah Sakit setelah tak seorangpun dari keluarga perempuan itu mau
mengurusku.
Seperti ditusuk ribuan jarum dalam jantungku,
seperti dihujani airmata darah, seperti dilempari ratusan batu, aku
jatuh pingsan saat mendengarnya. Kenyataan yang tak pernah bisa
kubayangkan. Meskipun terbangun dalam pelukan Ibu, aku tahu aku bukanlah
aku yang sama lagi.
Entah bagaimana aku harus mengembalikan
kebahagiaanku lagi. Aku menangis, menyesali diri dan mengulang kembali
semua ingatanku sedari aku kecil dulu. Sungguh tak mudah mengingat kasih
sayang yang kuterima selama ini. Setiap ulang tahunku, Ibu selalu
merayakannya dengan gembira.
Perempuan itu selalu menyiapkan
sendiri semua pesta itu bahkan ketika remaja berkali-kali Ibu memberiku
kejutan Pesta Ulang Tahun meski saat itu aku sudah tak lagi begitu
menginginkannya.
Bagaimana Ibu bisa terlihat begitu bahagia di
setiap foto-foto yang terabadikan di album foto keluarga?sementara aku
tahu sebagai istri takkan mudah bagi siapapun untuk menerima kehadiran
seorang anak haram sepertiku.
Anak haram, cap baru yang kini
terpaksa kuterima itu benar-benar melukai hatiku. Aku tak tahu harus
bagaimana agar darah yang mengalir dalam tubuhku bisa terkuras habis.
Aku membenci kenyataan itu, aku benci aku tak terlahir dari rahim
perempuan seperti Ibu yang kukenal selama ini.
Ibu yang
memperlakukanku bagai seorang putri yang hidup di dunia impian setiap
anak. Bahkan kini setelah semua yang terungkap, aku merasakan kasih
sayang Ibu bukanlah kasih sayang biasa. Ibu adalah seorang malaikat.
Ketika kecil, Ibu selalu bilang aku adalah anak yang sering sekali
sakit dan rapuh secara fisik. Ibu hafal semua obatku, ia mengingat semua
yang harus ia lakukan agar aku tetap sehat. Aku ingat saat Ibu memberi
sederet peringatan ketika aku sekolah pertama kali.
“Fitri tak
boleh jajan es, Fitri tak boleh main berpanas-panas di halaman sekolah,
bekal makanannya dihabiskan dan kalau Fitri takut atau apa, Ibu ada di
luar menunggu.” Saat itu Ibu menungguiku sampai sekolah usai, dengan
rela berpanas-panas di luar kelas hanya agar memastikan aku menikmati
sekolah.
Menjelang remaja, saat aku mulai menunjukkan
prestasiku. Ibu selalu setia mendampingiku dalam setiap acara atau lomba
yang kuikuti. Ibu di sana memberiku support, memacu semangat dan selalu
membantuku.
Bahkan walaupun saat itu adik-adik juga sudah
ada, Ibu masih menyempatkan diri mengurus keperluanku. Terus terang, aku
berusaha keras mencapai prestasiku selama ini bukan karena keinginanku
sendiri tapi karena aku ingin membuat Ibu bangga. Semakin sering Ibu
mengatakan ia bangga padaku, semakin ingin aku mempersembahkan banyak
prestasi untuknya.
Ibu mendampingiku saat aku menikah. Ibu
memelukku dengan kuat saat aku menangis berpamitan padanya. Ia begitu
terharu saat aku mencium kakinya, berterima kasih untuk semua kasih
sayang yang ia berikan padaku.
Sepanjang hidupku, aku
merasakan kesempurnaan Ibu sebagai orangtuaku. Kesempurnaan itu ia
tunjukkan lagi saat kembali mendampingiku melahirkan bayiku. Berbagai
ilmu dan pengetahuan menjadi orangtua yang ia ketahui, ia tularkan
padaku dalam masa-masa persiapan itu.
Kini, di tengah
kebahagiaan itu datanglah kenyataan menyakitkan ini. Bagaimana aku bisa
melihat Ayah tanpa merasa marah? Bagaimana aku bisa melihat Ibu tanpa
merasa tidak bersalah karena kehadiranku berarti Ibu mengingat
pengkhianatan Ayah? Bagaimana aku bisa melihat ketiga adikku tanpa
merasa tidak enak karena membagi kasih Ibu padaku?
Bagaimana
aku bisa melihat suamiku tanpa merasa takut ia akan mengkhianatiku
seperti Ayah? Bagaimana aku bisa melihat bayiku tanpa merasa tidak
pantas menjadi Ibunya? Bagaimana aku bisa kembali pada kehidupanku
sebelumnya?
Dan aku memilih mengurung diri, menangisi
kehadiranku, menyesali semua yang telah Allah berikan padaku. Tidak adil
setelah mengetahui semua ini aku masih berharap menjadi bagian dari
keluarga besarku.
Aku tak seharusnya berada di tengah mereka.
Aku seharusnya menyingkir, karena hidupku yang sesungguhnya bukanlah
yang aku nikmati selama ini. Menghindari Ibu, Ayah dan ketiga adikku
adalah satu-satunya jalan menyingkir dari mereka.
Tapi aku
salah. Secara bergantian mereka berusaha keras berbicara padaku. Meski
kukunci pintu kamar, tapi suamiku membantu mereka. Tanpa perduli aku
bertambah marah, ia menyuruh mereka semua menemuiku satu persatu.
Malaikat yang kupanggil Ibu itu mengatakan, “Sejak pertama Ibu
menggendongmu, tak ada satu haripun Ibu menyesali kehadiranmu. Tak ada
satu haripun ibu menyesali keputusan Ibu membesarkanmu. Tak ada satu
haripun Ibu merasa kau adalah anak orang lain.
Ibulah yang
memberimu nama Fitri, yang berarti suci karena Ibu selalu menganggap
setiap anak selalu terlahir suci. Jangan pernah merasa bersalah, karena
setiap kali Ibu melihatmu, Ibu melihat kaulah salah satu tempat ibu
berharap surga.”
Dan Ayah bilang, “Ayah minta maaf karena telah
melakukan dosa itu. Tapi seandainya saat itu diberitahu, Ayah akan
tetap mempertahankanmu. Ayah akan mengurus Ibu kandungmu, Ayah akan
berusaha keras menjaga kalian semua.
Buat Ayah, Ibu kandungmu
adalah perempuan baik yang memberi hadiah cinta terbaik untuk Ayah dan
Ibu yang sekarang adalah perempuan baik yang merawat cinta itu dengan
ikhlas. Ayah menyayangi mereka semua dan Ayah sungguh-sungguh minta maaf
padamu, nak.”
Ketiga adikku tak bisa berkata apa-apa. Mereka
hanya memelukku dan menangis bersamaku. Tapi ketika tangis itu mereda,
salah satu adik laki-lakiku berbisik dalam suara gemetar.
“Buat kami, kak Fitri adalah kakak kami dulu dan selamanya. Kakak
terbaik yang pernah kami punya. Kakak sudah melakukan banyak hal dan
kami takkan bisa melupakannya dengan satu kenyataan saja.
Kakak selalu bersama kami dalam berbagai suka dan duka, saling membantu
dan saling menjaga selama bertahun-tahun, kami takkan pernah lupa itu.
Buat kami yang terpenting adalah perasaan kakak. Tetap jadilah kakak
kami yang dulu, kak. Kakak yang sok tahu, yang suka iseng tapi selalu
mencintai kami apa adanya dan selalu menjadi tempat kami mengadu setiap
kali kami sedang susah.”
Dan yang terakhir berusaha
mengeluarkanku dari jurang keputusasaan adalah suamiku. “Tak ada
seorangpun di dunia ini bisa memilih orangtua mereka, itu adalah takdir.
Kematian Ibu kandungmu, rumah tangga Ayah dan Ibu tirimu, pertemuan
kita, semua adalah takdir. Kita tak bisa menentang kehendakNya.
Tapi itu bukanlah hal terpenting. Yang penting itu bagaimana kau
membuat pilihan dalam hidupmu sendiri. Hiduplah seperti sebelum kau
mengetahui semua ini, sayang. Karena menurut kami, saya dan seluruh
orang yang mencintaimu, itulah bagian terbaik dari dirimu.
Jadikanlah semua ini, rahasia ini sebagai pelajaranmu di masa mendatang.
Cobaan dan ujian itu adalah pelajaran dari Allah agar kita menjadi
manusia yang lebih bijaksana bukan justru menjadi terpuruk dan menjadi
orang yang putus asa.”
Dengan ragu kutatap wajahnya yang
tersenyum tulus padaku. “Lalu kalau anak kita bertanya soal rahasia itu,
aku harus bilang apa?”
Kekasih hatiku itu memeluk dengan
hangat. “Katakan bahwa kau memiliki dua orang Ibu. satu yang memberimu
kehidupan, satu lagi yang menjagamu dalam kehidupan. Katakan bahwa tak
ada seorang anakpun di dunia ini seberuntung dirimu, dan kau ingin anak
kita … tidak, tidak, anak-anak kita nanti … merasakan semua yang kau
rasakan itu meskipun punya satu Ibu,” ucapnya lembut sembari mengelus
rambutku.
“Dan buat saya, mencintaimu bukan hanya cara untuk
menunjukkan arti dirimu untuk saya. Tapi untuk menunjukkan pada Ibu,
betapa saya sangat menghormati dan menghargai Ibu untuk semua
pengorbanan dan kerja kerasnya mendidik seorang ibu dan seorang istri
selama ini.
Saya semakin mencintaimu dan ingin terus
menunjukkan betapa beruntungnya saya memiliki seorang istri yang begitu
dicintai keluarganya tanpa memperdulikan asal usulnya.”
Kehangatan itu mengobati hatiku perlahan-lahan. Meski masih teramat
sulit menerima, aku mencoba memahami posisi Ayah dan mempercayai semua
kasih sayang yang pernah diberi Ibu untukku semuanya berasal dari
hatinya.
Aku tahu aku perlu waktu, sama seperti seluruh
keluargaku saat menerima berita itu. Perasaan dibohongi selama
bertahun-tahun masih sering melanda dan mengundang kesedihan itu datang
lagi. Tapi itu tak lagi penting. Mengenang masa lalu hanya akan menambah
luka hati, membuat masa depan yang indah itu adalah tujuan hidupku yang
baru.
Tak ada yang membuatku lebih berterimakasih ketika
orang-orang yang kusayangi, keluarga besarku yang tak pernah sedikitpun
mengubah cara mereka memperlakukan diriku.
Karena cinta dan
kasih sayang itu berarti menerima kelebihan sekaligus kekurangan sebagai
bagian dari diri seseorang. Tak ada manusia sempurna dan Allah telah
mengingatkan aku dengan ujiannya kali ini.
Wallahu’alam bishshawab,
by mas wid