Utang puasa Ramadhan yang belum lunas sampai bertemu Ramadhan berikutnya, memiliki dua keadaan:
• Pertama, belum lunas karena ada udzur atau halangan. Hukumnya tidak berdosa dan kewajibannya hanya mengqadha saja.
Ini pendapat madzhab fikih yang empat.
• Kedua, belum lunas karena kelalaian, malas, dan menunda-nunda; bukan karena udzur. Dalam keadaan ini maka kewajibannya ialah:
[1] Bertaubat kepada Allah karena sudah melakukan pelanggaran. Imam Nawawi berkata,
فَلَوْ أَخَّرَ الْقَضَاءَ إلَى رَمَضَانَ آخَرَ بِلَا عُذْرٍ أَثِمَ.
“Jika seseorang menunda qadha puasa sampai datang Ramadhan berikutnya tanpa udzur, maka dia berdosa.”
Al-Majmuʼ, 6/364.
Syaikh al-‘Utsaimin menerangkan,
ِفَعَلَى مَن فَعَلَ ذَلِكَ أَن يَسْتَغْفِرَ اللّه وَيَتُوبَ إِلَيه مِمَّا أَخَّر.
“Wajib atas orang yang melakukannya untuk memohon ampun dan bertaubat kepada Allah karena telah menunda qadha puasa (hingga bertemu Ramadhan lagi).”
At-Taʼliq ‘ala Shahih Muslim, 5/424.
[2] Harus segera mengqadha setelah puasa Ramadhan di tahun berikutnya itu berakhir.
Tentang orang yang belum menyelesaikan utang puasanya tanpa udzur, Imam Nawawi mengatakan,
وَلَزِمَهُ صَوْمُ رَمَضَانَ الْحَاضِرِ وَيَلْزَمُهُ بَعْدَ ذَلِكَ قَضَاءُ رَمَضَانَ.
“Dia wajib berpuasa Ramadhan tahun itu, kemudian harus mengqadha puasa Ramadhan tahun yang lalu.”
Al-Majmuʼ, 6/364.
[3] Dianjurkan untuk membayar fidyah selain mengqadha. Dengan dasar:
1. Di dalam Al-Qurʼan Allah hanya mewajibkan qadha, sehingga tidak ada kewajiban lain di luar qadha.
2. Telah shahih fatwa dari sejumlah sahabat seperti Abu Hurairah dan Ibnu Abbas bahwa di samping mengqadha, orang yang belum melunasi utang puasanya sampai bertemu Ramadhan berikutnya juga memberi makan orang miskin sejumlah hari yang belum diqadha.
Lihat: Al-Itmam bi Syarh Kitab ash-Shiyam min Umdah al-Ahkam, hlm. 88-90.
Fatwa sejumlah sahabat tersebut dimaknakan sebagai sebuah anjuran, bukan kewajiban atau harus. Karena;
- Mewajibkan untuk memberi makan bagi yang menunda qadha sampai bertemu Ramadhan lagi berarti menyelisihi ayat (Q.S. Al-Baqarah: 184) yang hanya menyebutkan qadha saja bagi orang yang masih memiliki utang puasa, semakna ini penjelasan Imam al-Bukhari di kitab shahih beliau.
Al-Faqih Ibnu Hazm rahimahullah berkata,
وَلَمْ يَحُدَّ اللَّهُ تَعَالَى وَلَا رَسُولُهُ ﷺ فِي ذَلِكَ وَقْتًا بِعَيْنِهِ، فَالْقَضَاءُ وَاجِبٌ عَلَيْهِمْ أَبَدًا حَتَّى يُؤَدَّى أَبَدًا، وَلَمْ يَأْتِ نَصُّ قُرْآنٍ وَلَا سُنَّةٍ بِإِيجَابِ إطْعَامٍ فِي ذَلِكَ فَلَا يَجُوزُ إلْزَامُ ذَلِكَ أَحَدًا لِأَنَّهُ شَرْعٌ وَالشَّرْعُ لَا يُوجِبُهُ فِي الدِّينِ إلَّا اللَّهُ تَعَالَى عَلَى لِسَانِ رَسُولِهِ ﷺ فَقَطْ. وَهَذَا قَوْلُ أَبِي حَنِيفَةَ، وَدَاوُدَ.
“Allah dan Rasul-Nya tidak memberikan batas akhir waktu tertentu untuk membayar utang puasa. Jadi kewajiban menyelesaikan utang puasa ialah selamanya, intinya sampai mereka qadha.
Tidak ada ayat Al-Qurʼan dan hadits Rasulullah yang mengharuskan untuk memberi makan di samping mengqadha. Jadi tidak boleh mengharuskan seorang pun untuk melakukannya.
Karena masalah memberi makan dalam konteks pembahasan ini termasuk aturan syariat, sedangkan syariat dalam agama tidak ada yang menetapkannya kecuali Allah melalui lisan Rasulullah ﷺ saja. Pendapat ini ialah pendapat Abu Hanifah dan Dawud.”
Al-Muhalla, 6/337 pembahasan ke 769.
Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah ketika menerangkan masalah ini berkata,
ظاهر القرآن يدل على أنه لا يلزمه الإطعام مع القضاء؛ لأن الله لم يوجب إلا عدة من أيام أخر، ولم يوجب أكثر من ذلك، وقول الصحابي حجة ما لم يخالف النص، وهنا خالف ظاهر النص فلا يعتد به، وعليه فلا نلزم عباد الله بما لم يلزمهم الله به، إلا بدليل تبرأ به الذمة، على أن ما روي عن ابن عباس وأبي هريرة ـ رضي الله عنهم ـ يمكن أن يحمل على سبيل الاستحباب لا على سبيل الوجوب.
“Lahiriah ayat Al-Qurʼan menunjukkan bahwa tidak ada kewajiban untuk membayar fidyah di samping mengqadha. Allah tidak mewajibkan kecuali mengganti pada hari-hari yang lain, tidak mewajibkan lebih dari itu.
Ucapan sahabat adalah hujjah apabila tidak menyelisihi dalil; namun, di sini menyelisihi lahiriyah dalil, sehingga tidak bisa dijadikan landasan.
Atas dasar ini, kita tidak boleh mengharuskan hamba-hamba Allah dengan suatu amalan yang tidak diharuskan oleh Allah kecuali dengan dalil tegas yang menetapkan adanya suatu tanggung jawab.
Ditambah juga, yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas dan Abu Hurairah sangat bisa untuk dibawa pada makna anjuran, bukan makna wajib.”
Asy-Syarh al-Mumtiʼ, 6/446.
Jadi kesimpulannya, atsar dari sejumlah sahabat tentang masalah ini merupakan dasar untuk kita mengatakan hukum menambahkan fidyah bersama qadha ialah sunnah. Syaikh al-‘Utsaimin berkata,
وقد ألزمه بعض أهل العلم بالكفارة عن كل يوم، لأنه أخر ذلك لغير عذر، فإن فعل فقد أحسن، وإن ترك أي لم يطعم فلا حرج عليه.
“Sebagian ulama mengharuskan untuk memberi makan orang miskin sejumlah hari yang masih tersisa dari hutang puasanya karena menunda (sampai bertemu Ramadhan selanjutnya) tanpa ada udzur. Jika dia melakukannya, maka ini bagus. Dan jika tidak, maka juga tidak masalah.”
Fatawa Nur ‘alad Darb, 7/306.