Wanita Bekerja, Ibu Rumah Tangga dan Aktualisasi Diri
Semalam di grup WhatsApp, seorang kawan bercerita tentang mimpinya. Mimpi yang sederhana saja, mimpi untuk menjadi seorang Ibu Rumah Tangga.
“I just want to be a pious wife and mom.. Ga lebih dari itu.. Ga pingin kerja kantoran..”
Jujur saja saya merasa salut. Mungkin jika yang berkata begitu seseorang seperti saya yang tak punya titel, akan biasa saja rasanya. Tapi kawan saya ini menempuh pendidikannya di luar negri, dengan jurusan yang tidak biasa pula bagi perempuan sepertinya.
Saya sering melihat wanita yang bertitel dan ingin segera mengaplikasikan keahliannya dengan bekerja di luar rumah. Tapi tidak dengan kawan-kawan saya ini. Mereka dengan titel yang berderet dan membanggakan, justru memilih untuk mengabdikan diri di rumah.
Tak sedikit cibiran orang ketika kawan-kawan saya itu memutuskan untuk menjadi Ibu Rumah Tangga. “Sayang ya kuliah tinggi tinggi, ke luar negeri lagi.. Ujung-ujungnya cuma diem di rumah.. Sayang ilmunya.. “ ujar mereka dengan nada menyesalkan.
Padahal jika dicermati, ilmu yang mereka pelajari dulu di bangku kuliah tidaklah sia-sia. Dengan ilmu itu mereka mendidik anak-anak mereka, mengatur rumah tangga mereka, bahkan banyak yang bekerja dengan keahlian yang mereka punyai dari rumah. Sebagai seorang pekerja lepas alias freelancer.
Perempuan mesti menuntut dirinya agar pandai. Ia rumah bagi suaminya, sekolah bagi anak-anaknya dan teladan bagi kaumnya..
Coba bayangkan.. Tetap di rumah, tanpa keluar dari fitrah, lebih terjaga dari fitnah tapi tetap menghasilkan. Enak banget kan? Tak mesti berjubel dengan ratusan orang ketika menuju kantor. Tak mesti berjibaku dengan kemacetan dan stress di jalan, hingga akhirnya pulang ke rumah dalam keadaan lelah.
Apalagi jika suami sudah mampu mencukupi kebutuhan sehari-hari, apa lagi yang dicari? Teringat obrolan saya dengan suami belum lama ini, ketika saya meminta izin beliau untuk aktif menerima jahitan seperti waktu masih single dulu.
“Aa seneng Neng mau kerja, apalagi bisa bantu-bantu menghasilkan. Tapi sekarang lebih baik Neng fokus aja sama anak-anak, pendidikan mereka, apalagi gak lama lagi anak ketiga kita lahir. Biar urusan pemasukan keuangan Aa yang handle.” jawab beliau.
Sejujurnya, bekerja dan menghasilkan.. it’s not all about money. Bukan hanya masalah uang. Bagi saya pekerjaan saya adalah wadah aktualisasi diri. Ketika tenggelam dalam tumpukan bahan-bahan, benang dan jarum, bahkan ketika dikejar deadline sekalipun, ada kepuasan yang tidak terjelaskan. Inilah dunia saya. Disini saya bisa sepenuhnya mengaplikasikan ilmu yang saya punya, mengerjakan sesuatu yang saya sukai, juga memberi manfaat untuk orang lain.
Tapi kembali kepada komitmen awal sebelum menikah, ketika saya meminta pandangannya tentang bekerja di rumah setelah menikah. Beliau mengiyakan dengan syarat, tidak sampai melalaikan kewajiban saya sebagai istri dan ibu. Jadi saya sadar, kewajiban sekaligus tanggung jawab utama saya adalah mengurus rumah, suami dan anak-anak. Dan saya akan dimintai pertanggungjawaban mengenai itu di hadapan Allah kelak. Selebihnya hanya sampingan saja. Jika kewajiban utama sudah selesai, baru yang sampingan itu saya kerjakan.
Sungguh saya bersyukur menjadi seorang muslimah. Yang dipelihara hak-haknya oleh Islam, yang dihormati dengan kewajiban mengenakan Hijab. Yang dimuliakan dengan penjagaan seorang suami yang tak rela kecantikan istrinya dinikmati oleh mereka yang tidak berhak. Sungguh Islam telah memuliakan kita sebagai seorang wanita. Sebagai permata yang tinggi nilainya. Adakah agama lain yang menjunjung tinggi kedudukan wanita sebagai seorang istri, ibu dan anak, seperti halnya Islam?
Teringat sebuah nasehat yang indah dari Ustadz Zainal Abidin Syamsudin Hafizhahullah ketika ditanya tentang wanita bekerja di luar rumah:
“Ustadz, kenapa wanita tidak boleh bekerja di luar rumah?”
Beliau menjawab :
“Ibu kuliah S-1 itu untuk siapa? Untuk anak sendiri atau untuk anak orang lain? Kan aneh kalau S-1 itu untuk anak orang lain. Tetapi anak Ibu di rumah didik oleh tamatan SD. Apakah ada pembantu yang tamatan S-1..?”
(Diantara faedah “Bagaimana Menjadi Isteri Shalehah” oleh Ustadz Zainal Abidin Syamsudin Hafizhahullah)
Benar yang disampaikan Ustadz, lucu dan aneh bila kuliah S-1, S-2, bahkan S-3 tetapi yang menikmatinya orang lain atau anak orang lain, sedang anaknya diasuh,dirawat dan dididik oleh para pembantu… Tegakah engkau wahai saudariku? Bukankah anak adalah investasi berharga dunia dan akhirat bagi kedua orang tuanya? Sungguh, harta dan karir yang engkau cari di luar sana, masih banyak yang bisa mengunggulimu, namun keberadaanmu di rumah, mendampingi mereka, merawat mendidik dan memperhatikan tumbuh kembangnya setiap saat, tiada yang bisa sebagus dirimu…
wanita bekerja di luar rumah.
Mencintai ku Dengan tulus Atau Mencintai Kecantikkanku????
Cinta sejati adalah cinta yang terus menghujam tertancap kuat, tidakkan kecut dengan gelegar halilintar, tidakkan tergeser sejengkal tanah dengan air bah banjir dan tidak mudah berterbangan dengan hujan badai. Ialah cinta sejati karena Allah, mencintai seseorang karena ia mencintai Allah. Inilah cinta sejati, cinta yang takkan lenyap, tetap berangkulan di dunia dan berlanjut bersanding di surga akhirat tanpa gangguan cemburu bidadari.
Cinta sejati karena agama dan akhlaknya. Jika kecantikan masa muda mulai melambaikan tangan, kekuatan tubuh mulai melepas genggamannya, maka sebaliknya agama dan akhlak mulai semakin mendekap erat dan cinta tetap bersemayam.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ثَلاَثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ حَلاَوَةَ الإِيمَانِ: أَنْ يَكُونَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا، وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لاَ يُحِبُّهُ إِلاَّ لِلَّهِ، وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِى الْكُفْرِ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِى النَّارِ
“Tiga hal, bila ketiganya ada pada diri seseorang, niscaya ia merasakan betapa manisnya iman: Bila Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai dibanding selain dari keduanya, ia mencintai seseorang, tidaklah ia mencintainya kecuali karena Allah, dan ia benci untuk kembali kepada kekufuran setelah Allah menyelamatkan dirinya, bagaikan kebenciannya bila hendak diceburkan ke dalam kobaran api.” (Muttafaqun ‘alaih) Renungkan ringkasan kisah berikut, maka cinta yang sesungguhnya bukan karena kecantikan, harta dan kekayaan, tetapi cinta karena Allah. Sahabat Abdurrahman bin Abi Bakar radhiallahu ‘anhu ketika bepergian ke Syam untuk berdagang, di tengah jalan ia bertemu seorang wanita berbadan semampai, cantik nan rupawan bernama Laila bintu Al Judi.
Iapun jatuh cinta sampai tahap terkena penyakit mabuk cinta. Ia sering menyebut-nyebut mama Laila dan mengarang beberapa syair. Ia sejatinya merana karena cinta. Khalifah Umar bin Al Khattab radhiallahu ‘anhu merasa kasihan kepadanya.
Kemudian umar berkata kepada panglima perang yang akan berperang ke Syam, “Jika engkau menang dan mendapatkan Laila bintu Al-Judi sebagai tawanan (menjadi budak), maka serahkanlah kepada Abdurrahman bin Abi Bakar” Kemudian Laila bintu Al-Judi menjadi tawanan perang dan diserahkanlah kepada Abdurrahman bin Abi Bakar, dan Abdurrahman bin Abi Bakar lebih mendahulukan (cintanya) dibandingkan istri-istrinya yang lain. Istrinya yang lain mengadu kepada Aisyah (saudara Abdurrahman bin Abi Bakar), tetapi teguran Aisyah dibalas olehnya, Abdurrahman berkata, “Demi Allah, seakan-akan aku mengisap gigi-giginya yang bagaikan biji delima”(ia sangat menikmmati kecantikan dan kemolekan Laila bintu Al-Judi) Tak lama kemudian Laila bintu Al-Judi tertimpa penyakit yang menyebabkan bibir bawahnya terjatuh (wajahnya menjadi jelek), maka Abdurrahman sering berbuat kasar kepadanya (tidak cinta lagi), kemudian Laila bintu Al-Judi mengadu kepada Aisyah maka Aisyah berkata, “Wahai Abdurrahman, dahulu engkau mencintai Laila dan berlebihan dalam mencintainya.
Sekarang engkau membencinya dan berlebihan dalam membencinya. Sekarang, hendaknya engkau pilih: Engkau berlaku adil kepadanya atau engkau mengembalikannya kepada keluarganya. Karena didesak oleh saudarinya demikian, maka akhirnya Abdurrahmanpun memulangkan Laila kepada keluarganya. (Tarikh Damaskus 35/34 oleh Ibnu ‘Asakir, Darul Fikr, Beirut, 1419 H, Asy-Syamilah)
Catatan: Seperti inilah akhir cinta hanya karena kecantikan saja, maka perhatikanlah wahai para wanita apakah laki-laki mencintaimu hanya karena kecantikan saja? Atau ia tertarik dengan agama dan akhlakmu? Yang perlu diperhatikan juga bahwa kita tidak boleh mencela sahabat Abdurrahman bin Abi Bakar radhiallahu ‘anhu, karena ada larangan mencela sahabat, setiap orang pasti punya kesalahan, sahabat juga ada yang membunuh dan ada juga yang berzina, tetapi kita tahan lisan supaya tidak mencela mereka. Para sahabat sangat banyak jasanya terhadap Islam, bahkan ia lebih baik dari orang yang mencelanya. Mereka juga ada yang sudah bertaubat dari dosa-dosa mereka, misalnya para sahabat yang dulunya kafir dan memerangi keras Islam seperti Khalid bin Walid dan Abu sufyan. Mereka semua sudah bertaubat
4 Syarat Wanita Masuk Surga
Bismillah ... Sesungguhnya tidak sulit bagi seorang wanita untuk meraih surga Allah. Paling tidak ada 4 hal yang bisa dilakukan seorang wanita untuk masuk surga. Sahabat yang dirahmati Allah , Rasulullah saw bersabda yang artinya : " Apabila seorang wanita ( istri ) itu telah melakukan shalat lima waktu , puasa bulan Ramadhan , menjaga harga dirinya dan mentaati perintah suaminya , maka ia diundang di akhirat supaya masuk surga berdasarkan pintunya mana yang ia suka ( sesuai pilihannya ) . "( HR. Ahmad , Ibnu Hibban dan Thabrani )
Ini Dia 4 Syarat Wanita Masuk Surga
Berdasarkan hadits di atas jelaslah bagi kita bahwa Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang telah memberi kesempatan emas bagi setiap wanita yang beriman bahwa untuk memasuki surga - Nya yang penuh kenikmatan adalah melalui empat syarat saja .
Sedangkan seorang pria yang beriman itu kena melalui banyak rintangan dan dugaan dan melaksanakan beberapa tanggung jawab kepada Allah swt terlebih dahulu barulah ia layak memasuki surga Allah melainkan para syuhada yang syahid di jalan Allah swt
Empat syarat tersebut adalah seperti berikut :
Pertama : Melakukan shalat lima waktu .
Shalat merupakan pemisahan antara keimanan dan kekufuran yang haq dan yang bathil . Allah berfirman : " Maka dirikankanlah shalat itu ( sebagaimana biasa ) sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang - orang yang beriman " ( Surah An - Nissa ' ayat 103 )
Diriwayatkan dari Jabir r.a. katanya , Rasulullah s.a.w. bersabda : " Perumpamaan shalat lima waktu adalah seperti seseorang yang mandi di sebuah sungai yang dalam yang mengalir di depan rumahnya sebanyak lima kali sehari . " ( HR. Muslim )
Kedua : Puasa di bulan Ramadhan .
Dari Abu Hurairah r.a. bersabda Rasulullah s.a.w. maksudnya :: " Setiap amanalan anak Adam ( manusia ) itu digandakan satu kebaikan dengan sepuluh yang jenisnya hingga 700 kali lipat . Firman Allah s.w.t. ( maksudnya ) : " Kecuali puasa yang dikerjakan untuk Ku , maka Aku - lah yang membalasnya . Dia menahan syahwatnya dan meninggalkan makan karena Aku " Bagi orang yang puasa itu ada dua kegembiraan , yaitu gembira ketika berbuka ( atau berhari raya ) dan senang ketika menemui Tuhannya kelak . Dan , demi bau mulut orang yang berpuasa itu lebih harum dari bau kasturi . " ( HR. Muslim )
Ketiga : Menjaga menghormatinya .
Wanita solehah yang menjaga harga dirinya adalah wanita yang selalu menghiasi diri dengan akhlak Islam dan sifat - sifat terpuji yang dapat melindungi dirinya dari murka Allah swt Bila ia keluar rumah selalu menutup aurat dan menjaga perhiasan diri tidak bersolek pemborosan dan berwangi - wangian hingga menimbulkan fitnah , menjaga pergaulannya , menjaga lidah dan tidak mengumpat dan mengadu domba . Dia adalah wanita yang berilmu , cerdik dan pintar . Setiap hari mendalami Ilmu Islam , mempelajari tafsir Alquran , hadis Nabi , memahami ilmu realitas saat dan tahu cara - cara mengobati penyakit masyarakat . Di malam hari menjadi seorang abid , membaca Al - Quran , berzikir kepada Allah , shalat tahajjud dan berdo'a kepada Allah sampai meneteskan air mata .
Sabda Rasulullah s.a.w. yang berarti : " Sesungguhnya dunia dan seluruh isinya adalah perhiasan dan sebaik - baik perhiasan adalah wanita yang solehah . " ( HR. Muslim )
Keempat : Mentaati perintah suami .
Rasulullah s.a.w. bersabda yang artinya : " Sebaik - baik istri adalah yang dapat memberikan hati suaminya ketika engkau ( suami ) melihatnya dan ketika disuruh dia menurut perintahmu , dan dia bisa menjaga kehormatan dirinya dan hartamu ketika engkau tidak di rumah . " ( Riwayat Thabrani )
Seorang pria harus pergi berjihad fisabilillah tetapi wanita jika taat akan suaminya serta menunaikan kewajibannya kepada Allah akan turut menerima pahala seperti pahala orang pergi berperang fisabilillah tanpa perlu mengangkat senjata .
Sahabat yang dimuliakan ,
Wanita yang layak untuk memiliki kesempatan dan jalan yang mudah ini adalah khusus untuk wanita yang menikah karena dengan pernikahan ini barulah teruji kesetiaannya menjadi istri dan ibu yang solehah . Barulah segala kelebihan dan pahala yang berlipat ganda akan diperoleh selama menjabat sebagai istri dan ibu yang penuh tanggung jawab .
Kekurangan untuk wanita yang tidak menikah khususnya bagi kaum wanita , lebih banyak dibandingkan dengan pria . Karena umumnya bagi kaum wanita , pintu surga lebih banyak bermula dan berada di sekitar rumahtangga , suami dan anak - anak . Bagi kaum wanita , untuk mendapatkan maqam solehah dan menjadi penghuni surga di akhirat adalah sangat mudah . Ini adalah berdasarkan hadis Nabi s.a.w di atas .
Jika seorang wanita itu tidak menikah , ia tidak akan dapat mencapai kesempurnaan pada maqam yang keempat . Walau sehebat mana sekalipun ia bersembahyang , berpuasa dan menjaga martabat , wanita yang tidak menikah tidak akan mendapatkan keuntungan pada mentaati suami . Sedangkan kelebihan mentaati suami mengatasi segala - galanya bagi seorang wanita , sehingga ridha Allah pun tergantung pada ridha suami .
Selain itu di antara kelebihan wanita yang menikah akan memiliki pahala yang besar seperti berikut :
1 . Bahwa ia akan diberi pahala seperti pahala jihad fisabilillah di kala hamil .
2 . Ketika menyusui maka setiap titik air susu akan diberi satu kebajikan .
3 . Berjaga malam karena mengurus anak akan diberi pahala seperti membebaskan 70 orang hamba .
4 . Wanita yang berkeringat karena terkena bahang api ketika memasak untuk keluarganya akan dibebaskan dari neraka .
5 . Bagi wanita yang mencuci pakaian suminya akan diberi 1000 pahala dan diampuni 2000 dosa .
6 . Lebih istimewa lagi ialah bagi wanita yang tinggal di rumah karena mengurus anak - anak akan dapat tinggal bersama Rasulullah saw di surga kelak .
7 . Bahkan wanita yang rela dijimak oleh suami juga akan mendapat pahala .
8 . Lebih hebat lagi bagi wanita yang mati karena bersalin akan mendapat pahala seperti pahala syahid .
Semua kelebihan ini tidak akan tersedia bagi wanita yang menolak pernikahan . Bahkan di dunia akan selalu berada di dalam fitnah dan di akhirat menjadi orang yang rugi . Jika seorang wanita belum bertemu jodoh itu tidaklah termasuk dikalangan yang rugi karena soal jodoh adalah urusan Allah swt
Jadi wanita dianjurkan menikah bila menemukan pasangan yang sekufu . Yang dimaksudkan sekufu yang utama adalah dari segi iman , taqwa , berilmu meskipun pria tersebut telah menikah dan bukan seorang hartawan .
Sabda Rasulullah s.a.w. maksudnya : " Apabila datang kepada kamu orang yang beragama dan berakhlak maka kahwinlah dia , kalau tidak akan timbul fitnah dan kebinasaan . Para sahabat bertanya , " Bagaimana kalau ia telah menikah ? " Jawab beliau , " Menikahlah juga ia ( diulang sebanyak tiga kali ) . " Maksudnya disini bukanlah menjadi satu masaalah bagi pria yang telah menikah untuk melamar dan menikahi seorang wanita . ( berpoligami )
Begitulah besarnya pahala bagi wanita yang menikah . Tidak perlu repot untuk keluar rumah seperti kaum pria atau berslogan seperti kebanyakan wanita hari ini . Hanya dengan duduk di rumah sebagai seorang istri dan ibu sudah memperoleh banyak pahala .
Kalau suami redha dengan perlakuan seorang istri itu maka akan terus masuk surga tanpa melalui kesulitan . Nikmat ini tidak akan dapat diperoleh oleh wanita yang menolak pernikahan karena dia telah menolak untuk menjadi calon wanita solehah yang berada di bawah naungan suami .
Sahabat yang dikasihi ,
Mengapa Nabi saw ada mengatakan banyak penghuni neraka adalah wanita ? Apakah salah silapnya yang membuat penghuni neraka mayoritas adalah wanita .
Sebab - sebabnya adalah seperti berikut :
1 . Wanita sering tidak bersyukur dengan nikmat rezeki yang dibawa balik oleh suaminya . Menyukai kemewahan dan perhiasan yang hebat - hebat dan cantik .
2 . Wanita sering mendurhakai pada suaminya . Suka berbantah - bantah dan selalu menegakkan pendapatnya tanpa menghiraukan perasaan suami . Wanita yang meminta cerai karena suaminya berencana berpoligami adalah satu dosa karena hak berpoligami adalah hak yang diberikan oleh Islam kepada kaum pria .
3 . Perempuan sering tidak menjaga kehormatan diri seperti suka membuka aurat ( tidak bertudung kepala) dan suka berhias -hias untuk memperlihatkan kecantikannya kepada yang bukan mahram atau suami dan tidak dapat menjaga batas pergaulan yang ditetapkan syariat .
4 . Wanita sulit untuk menjaga lidahnya dari menggunjing dan mengadu domba . Dan sering menggunakan lidahnya untuk menyakiti hati suami dan orang lain . Ada juga sebagian wanita yang fasik tidak dapat mengendalikan nafsunya sampai sanggup melakukan zina .
Oleh karena itu wahai sahabat - sahabatku wanita yang beriman ! Jauhlah diri kalian dari praktek dan perbuatan yang mendatangkan dosa besar dan akan menyeret kalian ke neraka Jahanam . Ambil kesempatan emas ini yaitu melakukan ketaatan kepada empat hal yang disebutkan di atas . Ini adalah tawaran Allah swt yang paling mudah untuk kalian memasuki surga Allah swt melalui setiap pintu surga yang kalian pilih.
Kelebihan Lelaki Sholeh
Islam adalah rahmat bagi semesta alam. Dan manusia yang punya iman, pastinya bikin manusia lain disekitarnya ngerasa damai dan adem. Seperti para cowok sholeh, yaitu mereka yang taat banget sama Allah, pas manusia lihat atau nggak lagi ada siapapun yang melihat. Karena itulah, mereka banyak disayang, bahkan Allahpun sayang sama mereka. Banyak kelebihan yang dimiliki oleh para cowok sholeh ini, salah satunya adalah seperti yang dibawah ini :
Pemimpin yang ajib. Siapapun tahu kalau cowok, suatu hari bakal jadi pemimpin keluarga. Nah saat itulah cowok dituntut buat bisa jadi leader yang baik nan sholeh. Bayangkan aja sodara-sodara, kalau si cowok nggak punya ilmu agama yang sip, dan kepribadian yang islami, bisa dibayangin gimana jadinya nasib pengikutnya
Bisa amburadul itu keluarga! ibarat kata, dia mau nuntun orang, tapi dia sendiri buta. Gimana hayo? susah kan?. Nah hal inilah yang dipahami secara jelas sama para cowok- cowok sholeh. Dengan iman, mereka pinter ngendalikan diri dan mengayomi orang lain, termasuk anak istri mereka kelak.
Karena itulah nggak ada cerita cowok sholeh pulang sekolah trus tawuran dijalan, nyontek pas ujian, atau mojok berdua sama cewek dikantin. Kenapa? sekali lagi karena mereka adalah pemimpin yang pinter, nggak cuma buat orang lain, tapi juga buat diri mereka sendiri. Dan sebagai pemimpin yang pinter mereka nggak mau donk susah- susah menjerumuskan diri, ke masalah- masalah yang nggak penting pastinya.
Kesholehan berakibat keren dan unyu' Dengan kepribadian yang islami, cowok sholeh bakal tampil sebagai yang paling keren dan smakin unyu'. asyiknya lagi, kerennya itu nggak pake kadaluarsa. Karena kan asli dari dalem, nggak pake abal- abal. Walaupun tampilan luarnya sederhana, tapi cowok sholeh pasti punya kewibawaan tersendiri.
Yang begini nih, bakal nambah nilai ke-keren-an itu bener- bener jaminan mutu. Cowok sholeh juga bakal punya rasa malu dan takut yang besar. Malu kalo berbuat maksiat dan takut sama Allah kalo mau berbuat maksiat.
Hare gene getoh, langka loh cowok bisa bener- bener bertahan dalam kesholehan, bos. Secara lah, dimana- mana rok mini bersliweran, dan aurat pada dijual seribu tiga, kadang masih pake bonus lagi, hadeee.
Nah iman itulah yang ngebuat mereka makin tambah keren dan ngebuat orang jadi makin kepo. Beda banget kan, sama yang keren dipenampilan aja tapi nggak punya malu alias playboy yang tepe-tepe nggak jelas. Belum- belum kita aja pasti bakal illfeel sama yang begituan.
Pria most wanted! Orang soleh tuh, sohib-an banget alias best friend sama Allah. Dan Allah juga kan yang ngatur kehidupan. Nah, endingnya akan selalu asyiklah hidup mereka. Ini bakal kejadian nggak cuma di dunia, tapi juga di akherat.
Next, selain di sayang sama Allah, karena sholehnya juga dia bakal disayang sama orang sekitarnya. Maka jadilah para cowok sholeh itu idaman cewek di dunia, dan juga bidadari di surga. Pertanyaannya, siapa nggak suka jadi idaman? Pinter Menjadi sholeh itu kudu butuh ilmu. Dan ilmu itu didapat dari belajar.
So pasti kalau cowok udah sholeh, selanjutnya ilmu tentang agama dan dunia pasti dimilikinya. Ilmu juga yang akan ngebuat kata- katanya adem yesss,,,, tingkah lakunya nenangin, dan sifatnya nyenengin banget. Akhirnya kepintaran dalam kedalaman ilmu itu membuat kehadirannya ditunggu, disyukuri, bahkan diidamkan banyak orang.
Visioner
Kalau orang udah punya iman, gampang buat dia ngeraih kesuksesan dimasa depan.
Secara, orang yang sholeh pasti bakal paham bener kalau berbuat sia-sia itu dosa, membuang waktu itu nggak berguna, dan kehidupan itu bakal ada tanggung jawabnya. Nggak heran, kalau mereka dengan mudah bisa fokus sama hal- hal yang penting dan ngebuat diri lebih baik, dari pada sekedar hura- hura yang nggak jelas kemana arahnya. Hasilnya, masa depan mereka lebih tertata, mereka tahu hidup itu buat apa, dan kemana arah tujuannya.
Nggak cuma itu aja. Cowok sholeh juga bakal ingat mati, jadi nggak semena- mena aja di dunia. Mereka bakal buat persiapan khusus buat menyambut kehidupan setelah mati, alias di akherat. Selagi yang laen masih sibuk ajeb- ajeb, dia malah sibuk ngebenahin diri, dan meraih pahala, biar bisa asyik- asyik di surga entar.
Visioner banget kan! Nah, dari beberapa kelebihan para cowok sholeh diatas, bisa disimpulkan kalo memutuskan menjadi sholeh bukan pilihan, tapi keharusan.
Keharusan buat kamu yang bener- bener kepengen enjoy dengan hidup kamu. Satu hal intinya, Kesholehan membuat kamu beruntung dunia akherat, dan hidup bakal enak dunia akherat. So, bener nih masih berat hati buat jadi sholeh, bro?
Kisah Ummu Aiman
Barakah bintu Tsa’labah adalah seorang shahabiyah yang kehidupannya penuh berkah. Ia hidup sepanjang masa kenabian sehingga ia menyaksikan peristiwa-peristiwa pada periode tersebut.
Kun-yahnya adalah “Ummu Aiman”, dan ia lebih dikenal dengannya; menjadi pengasuh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sejak beliau masa kecil. Ia wafat sesudah wafatnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Ummu Aiman adalah isteri Zaid bin Haritsah, anak angkat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dari Zaid, ia mendapatkan seorang anak yang menjadi mujahid yang sangat hebat, yang sangat disayangi oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu Usamah bin Zaid. Dari suaminya yang pertama, ia memiliki seorang anak yang gugur sebagai syuhada (yaitu Aiman bin Ubaid Al-Khazraji).
Merawat Muhammad yang masih kecil Ummu Aiman mengenal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sejak beliau kecil sampai diutus menjadi seorang nabi. Dia menemani Aminah binti Wahab, ibunda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, berangkat ke Madinah bersama putra kesayangannya untuk mengunjungi Bani Najjar yang merupakan keluarga Abdul Muthalib. Di dalam perjalanan pulang kembali ke Mekkah, Aminah menderita sakit di perjalanan. Akhirnya beliau wafat di Abwa (tempat antara Mekkah dan Madinah).
Karena itulah, Ummu Aiman menjadi satu-satunya pendamping Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam – yang saat itu masih anak-anak – menuju kota Mekkah. Sang kakek, Abdul Muthalib, menjadi pengasuh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Ia mencintai sang cucu sepenuh hati. Adapun Ummu Aiman, ia tetap berada di sisi Rasulullah, mengurusnya dengan penuh cinta kasih, menjaganya dengan seluruh kemampuan diri, seakan ia menjadi penganti sang ibu yang telah pergi, sebagaimana Abdul Muthalib hadir sebagai kakek sekaligus “bapaknya”. Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam kecil pun tumbuh di antara orang-orang yang selalu mencurahkan kehangatan cinta dan kelembutan kasih sayang.
Wujud rasa sayang Abdul Muthalib kepada sang cucu membuatnya sangat banyak berwasiat kepada Ummu Aiman. Di salah satu wasiatnya ia berkata, “Wahai Barakah, janganlah engkau melalaikan anakku. Aku mendapatkannya bersama anak-anak kecil dekat dengan pohon bidara. Ketahuilah bahwa orang-orang dari Ahlul Kitab menyangka bahwa anakku ini akan menjadi nabi umat ini.
” Ketika Abdul Muthalib meninggal dunia, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam merasakan kesedihan yang sangat. Ummu Aiman menceritakan kejadian itu; ia berkata, “Aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hari itu menangis di belakang tempat tidur Abdul Muthalib.” (Ath-Thabaqatul Kubra, 8:224)
Dua pernikahan Tatkala Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tumbuh dewasa, beliau sangat menghargai dan menghormati Ummu Aiman; Ummu Aiman yang mengurus perkara dan urusan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta menjaganya dengan sebaik-baik penjagaan. Setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menikah dengan Khadijah radhiyallahu ‘anha, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memerdekakan Ummu Aiman.
Kemudian beliau menikahkannya dengan Ubaid bin Zaid Al-Khazraji. Dari pernikahan tersebut, lahirlah seorang putra yang diberi nama “Aiman”. Aiman radhiyallahu ‘anhu adalah seorang sahabat yang berhijrah dan berjihad, serta mati syahid pada perang Hunain.
Khadijah Ummul Mukminin memiliki seorang budak bernama Zaid bin Haritsah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta kepada Khadijah agar Zaid dihadiahkan baginya. Khadijah memenuhi permintaan sang suami tercinta. Zaid menjadi anak angkat Rasulullah dan orang yang sangat dicintainya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerdekakannya dan menikahkannya dengan Ummu Aiman, setelah suaminya yang pertama meninggal dunia. Seorang anak lelaki terlahir dari pernikahan itu.
Namanya adalah Usamah. Zaid kemudian berkun-yah dengan nama “Abu Usamah”. Turut berjihad di barisan kaum muslimin Ketika usia Ummu Aiman semakin bertambah, beliau sangat senang untuk turut serta berjihad bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Pada perang Uhud, Ummu Aiman berangkat bersama para wanita. Peran yang ia utamakan adalah mengobati orang-orang yang terluka dan memperhatikan mereka, serta memberi minum para mujahidin yang kehausan.
Pada perang Khaibar, Ummu Aiman bersama dua puluh orang wanita berangkat menuju medan perang bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan pasukan kaum muslimin. Adapun anaknya, Aiman, tidak ikut dalam perang ini karena kudanya sakit. Meski memiliki alasan, ibunya menyifatinya sebagai pengecut. Pada perang Mu’tah, suaminya (Zaid bin Haritsah radhiyallahu ‘anhu) wafat sebagai syuhada. Ummu Aiman menerima berita tersebut dengan sabar dan mengharap pahala dari Allah.
Pada perang Hunain, anaknya (Aiman) juga mati sebagai syuhada. Kembali beliau bersabar dan mengharap pahala dari Allah dengan kematian anaknya. Beliau hanya mengharapkan keridhaan Allah dan keridhaan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kesulitan dalam mengucap makhraj dengan benar Ummu Aiman adalah seseorang yang dihormati oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Hal itu tidak menghalangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menegurnya saat ia salah. Ummu Aiman terkadang salah dalam mengucapkan kata. Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkannya atau memerintahkannya untuk banyak diam.
Diriwayatkan bahwa Ummu Aiman bertemu dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan dia berkata, سلام لا عليكم “Keselamatan dan kesejahteraan tidaklah untukmu.” Karenanya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan keringanan kepada beliau untuk mengucapkan “السلام” saja. (Ath-Thabaqatul Kubra, 8:224)
Serta dari Abu Huwairits, bahwasanya Ummu Aiman berkata pada saat perang Hunain, سبت الله أقدامكم (yang benar seharusnya: ثبت الله أقدامكم [semoga Allah mengokohkan kaki kalian], Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu berkata kepadanya, “Diamlah, karena engkau sulit mengucapkan makhraj (huruf) dengan benar.” (Ath-Thabaqatul Kubra, 8:225)
Tutup usia Hari pun berlalu dengan cepat; wafatlah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Berita kematian pun tersebar, kota Madinah terasa gelap gulita dari barat maupun timur.
Hati manusia diliputi duka. Ummu Aiman menangis sedih atas perpisahannya dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam . Diriwayatkan dari Anas radhiyallahu ‘anhu; ia berkata, “Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu berkata kepada Umar radhiyallahu ‘anhu setelah wafatnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Mari kita pergi mengunjungi Ummu Aiman sebagaimana Rasullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengunjungi beliau semasa hidupnya.’ Tatkala kami menemuinya, beliau menangis. Kami pun bertanya, ‘Apa yang membuatmu menangis? Apa yang di sisi Allah lebih baik bagi Rasul-Nya.’
Ummu Aiman berkata, ‘Aku bukan menangisi beliau, karena aku tahu apa yang di sisi Allah itu lebih baik baginya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Akan tetapi aku menangis karena wahyu telah terputus dari langit.’ Maka mereka berdua pun ikut menangis.” (Ath-Thabaqatul Kubra, 2:332–333) Akhirnya seorang shahabiyah, yang mengasuh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam semenjak kecil dan bersama dengan beliau menyaksikan masa nubuwwah, kembali ke sisi Rabb-Nya.
Setelah mencurahkan kebaikan bagi Nabi-Nya dan bagi agamanya, Ummu Aiman radhiyallahu ‘anha wafat lima bulan – atau dalam riwayat lain: enam bulan – setelah wafatnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. (HR. Muslim, no. 2454)
Cara Mengendalikan Amarah
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah, amma ba’du,
Salah satu senjata setan untuk membinasakan manusia adalah marah. Dengan cara ini, setan bisa dengan sangat mudah mengendalikan manusia. Karena marah, orang bisa dengan mudah mengucapkan kalimat kekafiran, menggugat takdir, ngomong jorok, mencaci habis, bahkan sampai kalimat carai yang membubarkan rumah tangganya. Karena marah pula, manusia bisa merusak semua yang ada di sekitarnya.
Dia bisa banting piring, lempar gelas, pukul kanan-pukul kiri, bahkan sampai tindak pembunuhan. Di saat itulah, misi setan untuk merusak menusia tercapai. Tentu saja, permsalahannya tidak selesai sampai di sini. Masih ada yang namanya balas dendam dari pihak yang dimarahi. Anda bisa bayangkan, betapa banyak kerusakan yang ditimbulkan karena marah.
Menyadari hal ini, islam sangat menekankan kepada umat manusia untuk berhati-hati ketika emosi. Banyak motivasi yang diberikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam agar manusia tidak mudah terpancing emosi. Diantaranya, beliau menjanjikan sabdanya yang sangat ringkas, “Jangan marah, bagimu surga.” (HR. Thabrani dan dinyatakan shahih dalam kitab shahih At-Targhib no. 2749)
Allahu akbar, jaminan yang luar biasa. Surga..dihiasi dengan berbagai kenikmatan, bagi mereka yang mampu menahan amarah. Semoga ini bisa memotivasi kita untuk tidak mudah terpancing emosi. Bagaimana Cara Mengendalikan Diri Ketika Sedang Emosi? Agar kita tidak terjerumus ke dalam dosa yang lebih besar, ada beberapa cara mengendalikan emosi yang diajarkan dalam Al-Quran dan Sunah. Semoga bisa menjadi obat mujarab bagi kita ketika sedang marah. Pertama, segera memohon perlindungan kepada Allah dari godaan setan, dengan membaca ta’awudz
أعوذُ بالله مِنَ الشَّيْطانِ الرَّجيمِ
A'wdzu Ballh Mina Al-Sya'aythani Al-Ro'ojymi A-‘UDZU BILLAHI MINAS SYAITHANIR RAJIIM Karena sumber marah adalah setan, sehingga godaannya bisa diredam dengan memohon perlindungan kepada Allah. Dari sahabat Sulaiman bin Surd radhiyallahu ‘anhu, beliau menceritakan, Suatu hari saya duduk bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika itu ada dua orang yang saling memaki. Salah satunya telah merah wajahnya dan urat lehernya memuncak. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِني لأعلمُ كَلِمَةً لَوْ قالَهَا لذهبَ عنهُ ما يجدُ، لَوْ قالَ: أعوذُ بالله مِنَ الشَّيْطانِ الرَّجيمِ، ذهب عَنْهُ ما يَجدُ
Iiny La'lmu Kalimatan Lau Qalaha Ldzhba Anhu Ma Yjdu, Lau Qala: A'wdzu Ballh Mina Al-Sya'aythani Al-Ro'ojymi, Dzhb Aanhu Ma Yajdu Sungguh saya mengetahui ada satu kalimat, jika dibaca oleh orang ini, marahnya akan hilang. Jika dia membaca ta’awudz: A’-uudzu billahi minas syaithanir rajiim, marahnya akan hilang. (HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam riwayat lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila seseorang marah, kemudian membaca: A-‘udzu billah (saya berlindung kepada Allah) maka marahnya akan reda.” (Hadis shahih – silsilah As-Shahihah, no. 1376)
Kedua, DIAM dan jaga lisan Bawaan orang marah adalah berbicara tanpa aturan. Sehingga bisa jadi dia bicara sesuatu yang mengundang murka Allah. Karena itulah, diam merupakan cara mujarab untuk menghindari timbulnya dosa yang lebih besar. Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, إِذَا غَضِبَ أَحَدُكُمْ فَلْيَسْكُتْ Iidza Ghodliba Ahadukum Falyaskut “Jika kalian marah, diamlah.” (HR. Ahmad dan Syuaib Al-Arnauth menilai Hasan lighairih).
Ucapan kekafiran, celaan berlebihan, mengumpat takdir, dst., bisa saja dicatat oleh Allah sebagai tabungan dosa bagi ini. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan,
إِنَّ العَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالكَلِمَةِ، مَا يَتَبَيَّنُ فِيهَا، يَزِلُّ بِهَا فِي النَّارِ أَبْعَدَ مِمَّا بَيْنَ المَشْرِقِ
Iin'na Al-Abda Layatakal'lamu Bialkalimati, Ma Yatabay'yanu Fiyha, Yazil'lu Biha Fi Al-N'nari Ab'ada Mim'ma Bayna Al-Masyriqi Sesungguhnya ada hamba yang mengucapkan satu kalimat, yang dia tidak terlalu memikirkan dampaknya, namun menggelincirkannya ke neraka yang dalamnya sejauh timur dan barat. (HR. Bukhari dan Muslim)
Di saat kesadaran kita berkurang, di saat nurani kita tertutup nafsu, jaga lisan baik-baik, jangan sampai lidah tak bertulang ini, menjerumuskan anda ke dasar neraka. Ketiga, mengambil posisi semakin lebih rendah Kecenderungan orang marah adalah ingin selalu lebih tinggi.. dan lebih tinggi. Semakin dituruti, dia semakin ingin lebih tinggi. Dengan posisi lebih tinggi, dia bisa melampiaskan amarahnya sepuasnya. Karena itulah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan saran sebaliknya. Agar marah ini diredam dengan mengambil posisi yang lebih rendah dan lebih rendah. Dari Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menasehatkan,
إِذَا غَضِبَ أَحَدُكُمْ وَهُوَ قَائِمٌ فَلْيَجْلِسْ، فَإِنْ ذَهَبَ عَنْهُ الْغَضَبُ وَإِلَّا فَلْيَضْطَجِعْ
Iidza Ghodliba Ahadukum Wahua Qaiimun Falyajlis, Faiin Dzahaba Aanhu Al-Ghodlabu Waiil'la Falyadlthaji' Apabila kalian marah, dan dia dalam posisi berdiri, hendaknya dia duduk. Karena dengan itu marahnya bisa hilang. Jika belum juga hilang, hendak dia mengambil posisi tidur. (HR. Ahmad 21348, Abu Daud 4782 dan perawinya dinilai shahih oleh Syuaib Al-Arnauth).
Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu, sahabat yang meriwayatkan hadis ini, melindungi dirinya ketika marah dengan mengubah posisi lebih rendah.
Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnadnya, dari Abul Aswad Ad-Duali, beliau menceritakan kejadian yang dialami Abu Dzar, “Suatu hari Abu Dzar mengisi ember beliau. Tiba-tiba datang beberapa orang yang ingin mengerjai Abu Dzar. ‘Siapa diantara kalian yang berani mendatangi Abu Dzar dan mengambil beberapa helai rambutnya?’ tanya salah seorang diantara mereka. “Saya.” Jawab kawannya. Majulah orang ini, mendekati Abu Dzar yang ketika itu berada di dekat embernya, dan menjitak kepala Abu Dzar untuk mendapatkan rambutnya. Ketika itu Abu Dzar sedang berdiri. Beliaupun langsung duduk kemudian tidur.
Melihat itu, orang banyak keheranan. ‘Wahai Abu Dzar, mengapa kamu duduk, kemudian tidur?’ tanya mereka keheranan. Abu Dzar kemudian menyampaikan hadis di atas. Subhanallah.., demikianlah semangat sahabat dalam mempraktekkan ajaran nabi mereka. Mengapa duduk dan tidur? Al-Khithabi menjelaskan,
القائم متهيئ للحركة والبطش، والقاعد دونه في هذا المعنى، والمضطجع ممنوع منهما، فيشبه أن يكون النبي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إنما أمره بالقعود لئلا تبدر منه في حال قيامه وقعوده بادرة يندم عليها فيما بعدُ
Orang yang berdiri, mudah untuk bergerak dan memukul, orang yang duduk, lebih sulit untuk bergerak dan memukul, sementara orang yang tidur, tidak mungkin akan memukul. Seperti ini apa yang disampaikan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Perintah beliau untuk duduk, agar orang yang sedang dalam posisi berdiri atau duduk tidak segera melakukan tindakan pelampiasan marahnya, yang bisa jadi menyebabkan dia menyesali perbuatannya setelah itu. (Ma’alim As-Sunan, 4/108) Keempat, Ingatlah hadis ini ketika marah Dari Muadz bin Anas Al-Juhani radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ كَظَمَ غَيْظاً وَهُوَ قادرٌ على أنْ يُنفذهُ دعاهُ اللَّهُ سبحانهُ وتعالى على رءوس الخَلائِقِ يَوْمَ القيامةِ حتَّى يُخيرهُ مِنَ الحورِ العين ما شاءَ
Man Kadhama Ghoydhaan Wahua Qadrun Al An Yunfdzhu D'ahu Al-La'ahu Sbhanhu Wt'al Al Raws Al-Khalaiiqi Yauma Al-Qyamti Hta'a Yukhyrhu Mina Al-Hwri Al-Yn Ma Syaaa “Siapa yang berusaha menahan amarahnya, padahal dia mampu meluapkannya, maka dia akan Allah panggil di hadapan seluruh makhluk pada hari kiamat, sampai Allah menyuruhnya untuk memilih bidadari yang dia kehendaki. (HR. Abu Daud, Turmudzi, dan dihasankan Al-Albani) Subhanallah.
., siapa yang tidak bangga ketika dia dipanggil oleh Allah di hadapan semua makhluk pada hari kiamat, untuk menerima balasan yang besar? Semua manusia dan jin menyaksikan orang ini, maju di hadapan mereka untuk menerima pahala yang besar dari Allah ta’ala. Tahukah anda, pahala ini Allah berikan kepada orang yang hanya sebatas menahan emosi dan tidak melampiaskan marahnya. Bisa kita bayangkan, betapa besar pahalanya, ketika yang dia lakukan tidak hanya menahan emosi, tapi juga memaafkan kesalahan orang tersebut dan bahwa membalasnya dengan kebaikan. Mula Ali Qori mengatakan,
وَهَذَا الثَّنَاءُ الْجَمِيل
ُ وَالْجَزَاءُ الْجَزِيلُ إِذَا تَرَتَّبَ عَلَى مُجَرَّدِ كَظْمِ الْغَيْظِ فَكَيْفَ إِذَا انْضَمَّ الْعَفْوُ إِلَيْهِ أَوْ زَادَ بِالْإِحْسَانِ عَلَيْهِ
Wahadza Al-Ts'sanaau Al-Jamiylu Waljazaau Al-Jaziylu Iidza Tarot'taba Aala Mujar'radi Kadhmi Al-Ghoydhi Fakayfa Iidza Andlam'ma Al-Afwu Iilayhi Au Zada Bialiihsani Aalayhi Pujian yang indah dan balasan yang besar ini diberikan karena sebatas menahan emosi. Bagaimana lagi jika ditambahkan dengan sikap memaafkan atau bahkan membalasnya dengan kebaikan. (Tuhfatul Ahwadzi Syarh Sunan Turmudzi, 6/140).
Satu lagi, yang bisa anda ingat ketika marah, agar bisa meredakan emosi anda: Hadis dari Ibnu Umar, Siapa yang menahan emosinya maka Allah akan tutupi kekurangannya. Siapa yang menahan marah, padahal jika dia mau, dia mampu melampiaskannya, maka Allah akan penuhi hatinya dengan keridhaan pada hari kiamat. (Diriwayatkan Ibnu Abi Dunya dalam Qadha Al-Hawaij, dan dinilai hasan oleh Al-Albani).
Ya, tapi yang sulit bukan hanya itu. Ada satu keadaan yang jauh lebih sulit untuk disuasanakan sebelum itu, yaitu mengkondisikan diri kita ketika marah untuk mengingat balasan besar dalam hadis di atas. Umumnya orang yang emosi lupa segalanya. Sehingga kecil peluang untuk bisa mengingat balasan yang Allah berikan bagi orang yang bisa menahan emosi.
Siapakah kita dibandingkan Umar bin Khatab radhiyallahu ‘anhu. Sekalipun demikian, beliau terkadang lupa dengan ayat dan anjuran syariat, ketika sudah terbawa emosi. Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau menceritakan bahwa ada seseorang yang minta izin kepada Khalifah Umar untuk bicara. Umarpun mengizinkannya.
Ternyata orang ini membabi buta dan mengkritik habis sang Khalifah. ‘Wahai Ibnul Khattab, demi Allah, kamu tidak memberikan pemberian yang banyak kepada kami, dan tidak bersikap adil kepada kami.” Mendengar ini, Umarpun marah, dan hendak memukul orang ini. Sampai akhirnya Al-Hur bin Qais (salah satu teman Umar) mengingatkan, ‘Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya Allah berfirman kepada nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam (yang artinya): ‘Berikanlah maaf, perintahkan yang baik, dan jangan hiraukan orang bodoh.’ dan orang ini termasuk orang bodoh.’ Demi Allah, Umar tidak jadi melampiaskan emosinya ketika mendengar ayat ini dibacakan. Dan dia adalah manusia yang paling tunduk terhadap kitab Allah. (HR. Bukhari 4642).
Yang penting, anda jangan berputus asa, karena semua bisa dilatih. Belajarlah untuk mengingat peringatan Allah, dan ikuti serta laksanakan. Bisa juga anda minta bantuan orang di sekitar anda, suami, istri, anak anda, pegawai, dan orang di sekitar anda, agar mereka segera mengingatkan anda dengan janji-janji di atas, ketika anda sedang marah. Pada kasus sebaliknya, ada orang yang marah di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Beliaupun meminta salah satu sahabat untuk mengingatkannya, agar membaca ta’awudz, A-‘udzu billahi minas syaithanir rajim..
وَقَالَ: له أحد الصحابة «تَعَوَّذْ بِاللَّهِ مِن
َ الشَّيْطَانِ» فَقَالَ: أَتُرَى بِي بَأْسٌ، أَمَجْنُونٌ أَنَا، اذْهَب
Waqala: Lh Ahd Al-Shhabt «ta'aw'wadz Biall'lahi Mina Al-Sy'yaythani» Faqala: Aturo Bi Baasun, Amajnunun Ana, Adzhab “Salah satu temannya mengingatkan orang yang sedang marah ini: ‘Mintalah perlindungan kepada Allah dari godaan setan!’ Dia malah berkomentar: ‘Apakah kalian sangka saya sedang sakit? Apa saya sudah gila? Pergi sana!’ (HR. Bukhari 6048). Kelima, Segera berwudhu atau mandi Marah dari setan dan setan terbuat dari api. Padamkan dengan air yang dingin. Terdapat hadis dari Urwah As-Sa’di radhiyallahu ‘anhu, yang mengatakan,
إِنَّ الْغَضَبَ مِنْ الشَّيْطَانِ وَإِنَّ الشَّيْطَانَ خُلِقَ مِنْ النَّارِ وَإِنَّمَا تُطْفَأُ النَّارُ بِالْمَاءِ فَإِذَا غَضِبَ أَحَدُكُمْ فَلْيَتَوَضَّأْ
Iin'na Al-Ghodlaba Min Al-Sy'yaythani Waiin'na Al-Sy'yaythana Khuliqa Min Al-N'nari Waiin'nama Tuthfau Al-N'naru Bialmaai Faiidza Ghodliba Ahadukum Falyatawadl'laa Sesungguhnya marah itu dari setan, dan setan diciptakan dari api, dan api bisa dipadamkan dengan air. Apabila kalian marah, hendaknya dia berwudhu. (HR. Ahmad 17985 dan Abu Daud 4784)
Dalam riwayat lain, dari Abu Muslim Al-Khoulani, beliau menceritakan, Bahwa Amirul Mukminin Mu’awiyah radhiyallahu ‘anhu pernah berkhutbah di hadapan masyarakat. Dan ketika itu, gaji pegawai belum diserahkan selama dua atau tiga bulan.
Abu Muslim-pun berkata kepada beliau, ‘Hai Muawiyah, sesungguhnya harta itu bukan milikmu, bukan milik bapakmu, bukan pula milik ibumu.’ Mendengar ini, Muawiyah meminta hadirin untuk diam di tempat. Beliau turun dari mimbar, pulang dan mandi, kemudian kembali dan melanjutkan khutbahnya, ‘Wahai manusia, sesungguhnya Abu Muslim menyebutkan bahwa harta ini bukanlah milikku, bukan milik bapakku, bukan pula milik ibuku. Dan Abu Muslim benar. kemudian beliau menyebutkan hadis, Marah itu dari setan, setan dari api, dan air bisa memadamkan api. Apabila kalian marah, mandilah. Lalu Muawiyah memerintahkan untuk menyerahkan gaji mereka. (HR. Abu Nuaim dalam Hilyah 2/130, dan Ibnu Asakir 16/365).
Dua hadis ini dinilai lemah oleh para ulama. Hadis pertama dinilai lemah oleh An-Nawawi sebagaimana keterangan beliau dalam Al-Khulashah (1/122).
Syuaib Al-Arnauth dalam ta’liq Musnad Ahmad menyebutkan sanadnya lemah. Demikian pula Al-Albani menilai sanadnya lemah dalam Silsilah Ad-Dhaifah no. 581.
Hadis kedua juga statusnya tidak jauh beda. Ulama pakar hadis menilainya lemah. Karena ada perowi yang bernama Abdul Majid bin Abdul Aziz, yang disebut Ibnu Hibban sebagai perawi Matruk (ditinggalkan). Ada juga ulama yang belum memastikan kelemahan hadis ini. Diantaranya adalah Ibnul Mundzir. Beliau mengatakan, Jika hadis ini shahih, perintah yang ada di dalamnya adalah perintah anjuran untuk meredam marah dan saya tidak mengetahui ada ulamayang mewajibkan wudhu ketika marah. (Al-Ausath, 1/189).
Karena itulah, beberapa pakar tetap menganjurkan untuk berwudhu, tanpa diniatkan sebagai sunah. Terapi ini dilakukan hanya dalam rangka meredam panasnya emosi dan marah. Dr. Muhammad Najati mengatakan, Air yang dingin, bisa menurunkan darah bergejolak yang muncul ketika emosi. Sebagaimana ini bisa digunakan untuk menurunkan tensi darah tinggi. Karena itulah, di masa silam, terapi mandi digunakan untuk terapi psikologi. (Hadis Nabawi wa Ilmu An-Nafs, hlm. 122. dinukil dari Fatwa islam, no. 133861)
اَللَّهُمَّ نَسْأَلُكَ كَلِمَةَ الحَقِّ فِي الرِضَا وَالغَضَبِ
Aall'lahum'ma Nasaluka Kalimata Al-Haq'qi Fi Al-Ridla Walghodlabi Ya Allah, kami memohon kepada-Mu kalimat haq ketika ridha (sedang) dan marah
[Doa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dalam shalatnya – shahih Jami’ As-Shaghir no. 3039
PEREMPUAN YANG SELALU MANDI JUNUB DAN SHALAT TOBAT
Bismillahir-Rahmaanir-Rahim
SUARA orang yang mandi kramas setiap 02.00 pagi di Wisma Rosa Kompleks Warakas -di sana dan bukan di tempat kosku- itu suara istriku bersuci.
Selalu, bahkan berpuluh tahun kemudian seakan mengingatkan semua orang. Meski aku sadar, ada yang diam-diam menganggap itu berlebihan, karena selama ini banyak yang masih menganggap Manu -pelacur- jauh dari fakta sudah jadi istri.
Tapi apakah membunuhnya itu kewajaran hanya karena ada anggapan bahwa si Manu pelacur, dan sebagai pelacur ia tidak berhak menolak ajakan kencan siapa pun selama ada imbalan?
Aku tahu, ada yang beranggapan Manu itu masih siap menjadi pelacur dengan pendekatan yang tepat dan imbalan yang pas.
Mereka mempercayai adagium itu sebagai norma 'tahu sama tahu' (TST) tanpa pernah melakukan refleksi bagaimana kalau anggapan itu merupakan cacat bersikap yang dimurkai ALLAH Subhaanahu wa ta'ala. Sikap suudzan, cara berburuk sangka, yang saat diaplikasikan terbukti membahayakan yang lain.
Dan Manu bukan pelacur, bukan pelacur lagi. Setidak-tidaknya bagiku. Setidak-tidaknya setelah kami bersepakat menikah, meninggalkan Wisma Rosa dan pindah ke kamar kontrakan, di sepanjang hari tinggal di kamar dengan rutin rumah tangga seperti istri tetangga kos lain.
Hidup kami memang tak berkecukupan. Karena aku cuma sopir angkot yang terpaksa berbagi giliran dengan Tahir, kadang kegiliran pagi sampai siang, lain kali kebagian siang sampai sore. Hasilnya dicabik oleh beli bensin, uang setoran, dan bayar calo di terminal bayangan ketika menunggu penumpang.
"Aku tidak akan bisa membahagiakan kamu, Dik," kataku, berselonjor. Manu tersenyum. Dengan sederhana ia bicara tentang kebahagiaan, yang hanya rasa lega bersembahyang tanpa harus menangis dulu karena dihantui dosa.
"Kak, sekarang aku mandi kramas tanpa gemetar, tanpa takut akan dicuci api, dijerang api dan disetrika api di neraka karena mencari uang dari zinah. Aku kini junub dengan riang karena telah menyelesaikan kewajiban istri. Beribadah!’’ katanya.
***
KADANG-KADANG aku berpikir hidup berumah tangga selama 3 bulan ini cuma mimpi, sebuah tirai yang diangkat ketika aku terlelap dan kemudian sandiwara hidup dimainkan dalam impian, dan ketika aku benar-benar terjaga untuk mencucup semua kebahagiaan itu dalam keyakinan itu kurnia ALLAH, maka Manu pun ada yang merenggut dari sisiku.
Dan orang itu adalah Tahir—temanku berbagi rezeki dan bertukar kebutuhan saat kesulitan dengan pengkhianatan yang berselimut pengakuan tak enak badan dan meminta agar aku meneruskan jatah narik.
"Penuhi setorannya!" kata Tahir sambil mengembuskan rokok berlatar ruap alkohol dari lambung, sambil mengambil selembar uang Rp 5.000,- di dashboard. "Aku minta rokok saja."
Aku bungkam. Mengawasinya sempoyongan menjauh. Aku menarik napas lega, barangkali aku bisa membawa pulang Rp 40.000,- dan mengajak Manu makan sangu wuduk Tirohat.
Sebuah impian yang tak pernah kesampaian, yang membuat aku ingin menangis karena selama 3 bulan menikah aku hanya sekali mengajaknya makan di Warung Tirohat. Saat kami baru pulang dari menikah di Karang Lara di orang tuanya Manu, datang dengan tas berisi pakaian dan sekresek oleh-oleh. Meregang di trotoar dan mengajaknya ke Warung Tirohat, menjamunya sebagai pesta nikah, dengan nadar sesekali mengajaknya makan di sana. Sebagai ungkapan syukur telah resmi menikah, Manu tak lagi mencari makan dengan melacur dan aku tak perlu pergi ke pelacur.
Dan aku tidak mengerti, ketika aku sungguh-sungguh mencari penumpang dan berkonsentrasi mencari penumpang, batin sebenarnya gelisah, ada terbersit keinginan pulang berbilang pada Manu: ia ada dalam ancaman maut.
Tapi hari itu penumpang amat bagus dan karenanya aku berpikir selepas maghrib, aku akan mengambil magrib di rumah bos, akan bergegas pulang, mandi dan mengajak Manu ke Warung Tirohat.
Dan tak pernah tahu kalau saat itu Tahir menyelinap ke kamar kos, merayu Manu, dan ketika ditolak ia pitam, di dalam mabuk dan oleh kemabukannya, dan liar menyergap Manu.
Menyobek blus setelah meninju rahang Manu. Merenggut rok, dan ketika Manu menggerinjal dan berteriak, ia kalap menghajar Manu.
Menginjak-nginjak dada, perut dan leher Manu sambil berteriak-teriak: "ublag, ublag, ublag!"
Dan orang sekampung menangkapnya di momen itu, setelah Isti di sebelah berteriak minta tolong kepada para lelaki kampung, setelah Johan, Kleise dan Jisim -anak-anak yang mengintai dari kaca nako- memperkuat laporan Isti.
Massa menyerbu. Massa menghajar Tahir. Tapi Manu sudah tak terselamatkan. Rahangnya pecah, 4 rusuknya patah, dan kerongkongannya memar. Tidak tertolong lagi. Dan polisi yang menemukan aku di jalan, menghentikan mobil dan mengoper penumpang ke angkot lain, dan mengajak aku ke rumah sakit untuk menemukan Manu sudah meninggal.
Sudah sempurna di jalan ALLAH, tak lagi bersusah payah meniti jalan bercela maksiat, meraba-raba ridha-NYA sambil menangis, karena tiap langkahnya diselimuti dosa.
Tapi haruskah ia mati begitu menyedihkan?
Aku tak tahu.
Dokter mengatakan tak terjadi perkosaan meski ada indikasi ke arah itu.
Pak Ustaz di Masjid kampung itu bilang kalau Manu mati syahid membela kehormatan. "Berdoalah, agar dapat keringanan dalam kubur, agar terang alam kuburnya," katanya.
Aku menelan ludah!
***
AKU sendiri yang memandikan Manu. Memangku tubuh telanjang yang hanya 1,53 cm itu di pangkal paha, tangan kiri menahan leher dan tangan kanan menahan kedua tungkai.
Bersabar, bertawakkal, membiarkan ibu-ibu mengguyurkan air dan ikut membasahi tubuh.
Ikut melihat seluruh luka dan memar di tubuhnya. Ikut tersabuni ketika para ibu itu perlahan menyabuni, melekat padaku ketika didudukkan agar bisa dikramasi dan punggung disabuni, lalu kaki, pangkal kaki dan pinggul.
Aku menangis! Aku nanar teringat akan wangi sabun dan sampoo tubuhnya di subuh itu, pada saat aku terjaga, lilir di pembaringan.
Kehilangan! Tersentak ketika melihatnya bersimpuh zikir setelah shalat subuh dengan air mata di seluruh kelopak mata.
Aku tercekat! Mengawasi! Memaknai pelacur yang shalat di lokalisasi pelacuran ini dan jauh di dini hari pasti mandi junub diam-diam.
Menelan ludah! Diam! Menontonnya melipat mukena dan tertib menyimpannya.
Aku termangu, ingat masa kecil di kampung, yang setiap sore diisi dengan mengaji dan shalat berjamaah di masjid kampung. Ke mana semua itu setelah jadi sopir di Jakarta?
Dan dengan berdaster tanpa dalaman ia bersisir, lantas berbalik ke pembaringan, ragu-ragu memberikan lagi tubuh kepada yang mem-booking. Aku mencium wangi sabun dan terutama sampoo dari rambut yang dipotong pendek. Mungkin, terpikir kini, supaya gampang berkramas dan bukan demi mode semata.
"Kau shalat?" tanyaku.
Manu melengos. Lirih bilang, ia tetap shalat karena ia Islam, agar bisa minta ampunan karena ia tidak sreg jadi pelacur.
Mengeluhkan ingin ke luar dari sini ini dan jadi apa saja, agar tidak merasa jijik dengan tubuh yang dirasanya selalu saja menggerutu menyesali pembiaran sehingga dirinya dihidupkan aku dengan berzinah.
"Menikahlah denganku..."
"Hhhmmm..."
"Jadilah kau muhrim-ku. Mari kita tegakkan shalat bersama. Dan..."
"Dan...?"
"Dan jangan berharap memiliki apa-apa, memimpikan kenikmatan hidup, karena aku hanya mengajak menegakkan shalat, sekuatnya melangkahi Shiratal Mustaqim."
Seminggu kemudian kami menikah -siri. Tanpa pesta, tanpa upacara meriah, tanpa basa-basi dan hanya dengan mas kawin berupa mukena. Mukena dan sajadah -sarung plekat- yang akan jadi alat kami akan sungguh-sungguh menegakkan shalat.
Lagi pula apa yang bisa diberikan seorang sopir angkot yang hampir tiap hari paling membawa uang -sisa bensin dan setoran- sekitar Rp 20.000,- dan sering tak sampai Rp 10.000,-. Ihwal yang terkadang membuat aku malu, menitikkan air mata ketika akan memberikannya pada Manu. Tapi Manu cuma tersenyum. Bilang, ada air putih buat minum, ada nasi dengan garam dan cengek, atau krupuk, untuk dimakan.
"Cita-cita kita menegakkan shalat, Kak," katanya.
Dan sekarang, saat ibu-ibu mengucurkan air membersihkan tubuhnya sebelum diwudhukan, aku mendengar suaranya lagi.
***
KADANG-KADANG aku mengunjungi makamnya dan berziarah. Menangis, kini aku kembali sendirian menegakkan shalat dan berpuasa menahan godaan zinah, atau sekadar mabuk.
Sering aku hanya bersuntuk di kamar -masih ke masjid tapi aku lebih sering bertekun di kamar kos-, berzikir dan meminta ampunan bagi dosa-dosa ketika dulu Manu terpaksa menjadi pelacur, saat seluruh batinnya menangis saat ia melacur, terutama seusai melacur, bersuci dan serius mengambil shalat tobat dalam tangis sunyi yang pilu.
"Kini kamu bebas, Manu. Kamu kini telah dibebaskan, Manu," kataku. "Meski jalan dan cara pembebasan itu amat menyakitkan. Terima itu sebagai api suci yang mengembalikanmu ke dalam kefitrian."
Dan aku menangis diam-diam. Menangisi kesempatan bertobatnya Manu yang cuma sebentar itu.
Tapi apa pertobatan itu harus bersifat kekal selamanya atau cukup sebentar saja, tapi dengan kesungguhan?
Tapi kenapa orang tak memberi kesempatan baginya bertobat dan menunjukkan kesungguhannya bertobat?
Ataukah ALLAH Subhaanahu wa ta'ala -lewat orang suudzan itu- telah mengujinya dan ia lulus sebagai yang tak tergoyahkan, dan karena ia syahid dalam keteraniayaannya?
Aku menarik napas. Aku istigfar dan minta agar tidak diuji dengan cobaan yang sulit dan menyakitkan.
Sekaligus berharap mendapat kemudahan dalam mencari nafkah dan membina hidup baru dalam kubah keluarga sakinah.
SUARA orang yang mandi kramas setiap 02.00 pagi di Wisma Rosa Kompleks Warakas -di sana dan bukan di tempat kosku- itu suara istriku bersuci.
Selalu, bahkan berpuluh tahun kemudian seakan mengingatkan semua orang. Meski aku sadar, ada yang diam-diam menganggap itu berlebihan, karena selama ini banyak yang masih menganggap Manu -pelacur- jauh dari fakta sudah jadi istri.
Tapi apakah membunuhnya itu kewajaran hanya karena ada anggapan bahwa si Manu pelacur, dan sebagai pelacur ia tidak berhak menolak ajakan kencan siapa pun selama ada imbalan?
Aku tahu, ada yang beranggapan Manu itu masih siap menjadi pelacur dengan pendekatan yang tepat dan imbalan yang pas.
Mereka mempercayai adagium itu sebagai norma 'tahu sama tahu' (TST) tanpa pernah melakukan refleksi bagaimana kalau anggapan itu merupakan cacat bersikap yang dimurkai ALLAH Subhaanahu wa ta'ala. Sikap suudzan, cara berburuk sangka, yang saat diaplikasikan terbukti membahayakan yang lain.
Dan Manu bukan pelacur, bukan pelacur lagi. Setidak-tidaknya bagiku. Setidak-tidaknya setelah kami bersepakat menikah, meninggalkan Wisma Rosa dan pindah ke kamar kontrakan, di sepanjang hari tinggal di kamar dengan rutin rumah tangga seperti istri tetangga kos lain.
Hidup kami memang tak berkecukupan. Karena aku cuma sopir angkot yang terpaksa berbagi giliran dengan Tahir, kadang kegiliran pagi sampai siang, lain kali kebagian siang sampai sore. Hasilnya dicabik oleh beli bensin, uang setoran, dan bayar calo di terminal bayangan ketika menunggu penumpang.
"Aku tidak akan bisa membahagiakan kamu, Dik," kataku, berselonjor. Manu tersenyum. Dengan sederhana ia bicara tentang kebahagiaan, yang hanya rasa lega bersembahyang tanpa harus menangis dulu karena dihantui dosa.
"Kak, sekarang aku mandi kramas tanpa gemetar, tanpa takut akan dicuci api, dijerang api dan disetrika api di neraka karena mencari uang dari zinah. Aku kini junub dengan riang karena telah menyelesaikan kewajiban istri. Beribadah!’’ katanya.
***
KADANG-KADANG aku berpikir hidup berumah tangga selama 3 bulan ini cuma mimpi, sebuah tirai yang diangkat ketika aku terlelap dan kemudian sandiwara hidup dimainkan dalam impian, dan ketika aku benar-benar terjaga untuk mencucup semua kebahagiaan itu dalam keyakinan itu kurnia ALLAH, maka Manu pun ada yang merenggut dari sisiku.
Dan orang itu adalah Tahir—temanku berbagi rezeki dan bertukar kebutuhan saat kesulitan dengan pengkhianatan yang berselimut pengakuan tak enak badan dan meminta agar aku meneruskan jatah narik.
"Penuhi setorannya!" kata Tahir sambil mengembuskan rokok berlatar ruap alkohol dari lambung, sambil mengambil selembar uang Rp 5.000,- di dashboard. "Aku minta rokok saja."
Aku bungkam. Mengawasinya sempoyongan menjauh. Aku menarik napas lega, barangkali aku bisa membawa pulang Rp 40.000,- dan mengajak Manu makan sangu wuduk Tirohat.
Sebuah impian yang tak pernah kesampaian, yang membuat aku ingin menangis karena selama 3 bulan menikah aku hanya sekali mengajaknya makan di Warung Tirohat. Saat kami baru pulang dari menikah di Karang Lara di orang tuanya Manu, datang dengan tas berisi pakaian dan sekresek oleh-oleh. Meregang di trotoar dan mengajaknya ke Warung Tirohat, menjamunya sebagai pesta nikah, dengan nadar sesekali mengajaknya makan di sana. Sebagai ungkapan syukur telah resmi menikah, Manu tak lagi mencari makan dengan melacur dan aku tak perlu pergi ke pelacur.
Dan aku tidak mengerti, ketika aku sungguh-sungguh mencari penumpang dan berkonsentrasi mencari penumpang, batin sebenarnya gelisah, ada terbersit keinginan pulang berbilang pada Manu: ia ada dalam ancaman maut.
Tapi hari itu penumpang amat bagus dan karenanya aku berpikir selepas maghrib, aku akan mengambil magrib di rumah bos, akan bergegas pulang, mandi dan mengajak Manu ke Warung Tirohat.
Dan tak pernah tahu kalau saat itu Tahir menyelinap ke kamar kos, merayu Manu, dan ketika ditolak ia pitam, di dalam mabuk dan oleh kemabukannya, dan liar menyergap Manu.
Menyobek blus setelah meninju rahang Manu. Merenggut rok, dan ketika Manu menggerinjal dan berteriak, ia kalap menghajar Manu.
Menginjak-nginjak dada, perut dan leher Manu sambil berteriak-teriak: "ublag, ublag, ublag!"
Dan orang sekampung menangkapnya di momen itu, setelah Isti di sebelah berteriak minta tolong kepada para lelaki kampung, setelah Johan, Kleise dan Jisim -anak-anak yang mengintai dari kaca nako- memperkuat laporan Isti.
Massa menyerbu. Massa menghajar Tahir. Tapi Manu sudah tak terselamatkan. Rahangnya pecah, 4 rusuknya patah, dan kerongkongannya memar. Tidak tertolong lagi. Dan polisi yang menemukan aku di jalan, menghentikan mobil dan mengoper penumpang ke angkot lain, dan mengajak aku ke rumah sakit untuk menemukan Manu sudah meninggal.
Sudah sempurna di jalan ALLAH, tak lagi bersusah payah meniti jalan bercela maksiat, meraba-raba ridha-NYA sambil menangis, karena tiap langkahnya diselimuti dosa.
Tapi haruskah ia mati begitu menyedihkan?
Aku tak tahu.
Dokter mengatakan tak terjadi perkosaan meski ada indikasi ke arah itu.
Pak Ustaz di Masjid kampung itu bilang kalau Manu mati syahid membela kehormatan. "Berdoalah, agar dapat keringanan dalam kubur, agar terang alam kuburnya," katanya.
Aku menelan ludah!
***
AKU sendiri yang memandikan Manu. Memangku tubuh telanjang yang hanya 1,53 cm itu di pangkal paha, tangan kiri menahan leher dan tangan kanan menahan kedua tungkai.
Bersabar, bertawakkal, membiarkan ibu-ibu mengguyurkan air dan ikut membasahi tubuh.
Ikut melihat seluruh luka dan memar di tubuhnya. Ikut tersabuni ketika para ibu itu perlahan menyabuni, melekat padaku ketika didudukkan agar bisa dikramasi dan punggung disabuni, lalu kaki, pangkal kaki dan pinggul.
Aku menangis! Aku nanar teringat akan wangi sabun dan sampoo tubuhnya di subuh itu, pada saat aku terjaga, lilir di pembaringan.
Kehilangan! Tersentak ketika melihatnya bersimpuh zikir setelah shalat subuh dengan air mata di seluruh kelopak mata.
Aku tercekat! Mengawasi! Memaknai pelacur yang shalat di lokalisasi pelacuran ini dan jauh di dini hari pasti mandi junub diam-diam.
Menelan ludah! Diam! Menontonnya melipat mukena dan tertib menyimpannya.
Aku termangu, ingat masa kecil di kampung, yang setiap sore diisi dengan mengaji dan shalat berjamaah di masjid kampung. Ke mana semua itu setelah jadi sopir di Jakarta?
Dan dengan berdaster tanpa dalaman ia bersisir, lantas berbalik ke pembaringan, ragu-ragu memberikan lagi tubuh kepada yang mem-booking. Aku mencium wangi sabun dan terutama sampoo dari rambut yang dipotong pendek. Mungkin, terpikir kini, supaya gampang berkramas dan bukan demi mode semata.
"Kau shalat?" tanyaku.
Manu melengos. Lirih bilang, ia tetap shalat karena ia Islam, agar bisa minta ampunan karena ia tidak sreg jadi pelacur.
Mengeluhkan ingin ke luar dari sini ini dan jadi apa saja, agar tidak merasa jijik dengan tubuh yang dirasanya selalu saja menggerutu menyesali pembiaran sehingga dirinya dihidupkan aku dengan berzinah.
"Menikahlah denganku..."
"Hhhmmm..."
"Jadilah kau muhrim-ku. Mari kita tegakkan shalat bersama. Dan..."
"Dan...?"
"Dan jangan berharap memiliki apa-apa, memimpikan kenikmatan hidup, karena aku hanya mengajak menegakkan shalat, sekuatnya melangkahi Shiratal Mustaqim."
Seminggu kemudian kami menikah -siri. Tanpa pesta, tanpa upacara meriah, tanpa basa-basi dan hanya dengan mas kawin berupa mukena. Mukena dan sajadah -sarung plekat- yang akan jadi alat kami akan sungguh-sungguh menegakkan shalat.
Lagi pula apa yang bisa diberikan seorang sopir angkot yang hampir tiap hari paling membawa uang -sisa bensin dan setoran- sekitar Rp 20.000,- dan sering tak sampai Rp 10.000,-. Ihwal yang terkadang membuat aku malu, menitikkan air mata ketika akan memberikannya pada Manu. Tapi Manu cuma tersenyum. Bilang, ada air putih buat minum, ada nasi dengan garam dan cengek, atau krupuk, untuk dimakan.
"Cita-cita kita menegakkan shalat, Kak," katanya.
Dan sekarang, saat ibu-ibu mengucurkan air membersihkan tubuhnya sebelum diwudhukan, aku mendengar suaranya lagi.
***
KADANG-KADANG aku mengunjungi makamnya dan berziarah. Menangis, kini aku kembali sendirian menegakkan shalat dan berpuasa menahan godaan zinah, atau sekadar mabuk.
Sering aku hanya bersuntuk di kamar -masih ke masjid tapi aku lebih sering bertekun di kamar kos-, berzikir dan meminta ampunan bagi dosa-dosa ketika dulu Manu terpaksa menjadi pelacur, saat seluruh batinnya menangis saat ia melacur, terutama seusai melacur, bersuci dan serius mengambil shalat tobat dalam tangis sunyi yang pilu.
"Kini kamu bebas, Manu. Kamu kini telah dibebaskan, Manu," kataku. "Meski jalan dan cara pembebasan itu amat menyakitkan. Terima itu sebagai api suci yang mengembalikanmu ke dalam kefitrian."
Dan aku menangis diam-diam. Menangisi kesempatan bertobatnya Manu yang cuma sebentar itu.
Tapi apa pertobatan itu harus bersifat kekal selamanya atau cukup sebentar saja, tapi dengan kesungguhan?
Tapi kenapa orang tak memberi kesempatan baginya bertobat dan menunjukkan kesungguhannya bertobat?
Ataukah ALLAH Subhaanahu wa ta'ala -lewat orang suudzan itu- telah mengujinya dan ia lulus sebagai yang tak tergoyahkan, dan karena ia syahid dalam keteraniayaannya?
Aku menarik napas. Aku istigfar dan minta agar tidak diuji dengan cobaan yang sulit dan menyakitkan.
Sekaligus berharap mendapat kemudahan dalam mencari nafkah dan membina hidup baru dalam kubah keluarga sakinah.
KISAH NYATA PENJUAL BUBUR AYAM DAN SHOLAT DHUHA
Di Bandung tepatnya di daerah Jl. Dalem Kaum, yang satu arah, di sebelah gedung Palaguna yang saat ini sudah tidak dipergunakan, ada seorang kakek-kakek tua gemuk yang berjualan bubur ayam.
Kalau kita lihat selintas, beliau berjualan bubur tersebut tidak ada sesuatu yang istimewa, seperti bubur yang lainnya.
Bubur ayam tersebut apabila di hari-hari biasa habis sekitar pukul 8 pagi untuk, untuk hari minggu ? jam 7 sudah ludes!!!!
Rasanya ?
sangat nikmat, selama hidup saya di Bandung, baru kali ini saya merasakan bubur ayam yang senikmat ini.
Saya perhatikan, beliau dalam melayani para pembelinya selalu dengan sepenuh hati, beliau memotong-motong ayam dan ati ampela nya se lembut mungkin, apabila ada tulang, beliau sisihkan, tidak dihidangkan, beliau taburkan ayam dan ati ampela tersebut sebanyak mungkin hingga mangkuknya terlihat sangat penuh. sehingga kita pun tidak merasa rugi sedikit pun dengan membeli bubur ayam seharga Rp.10.000 / mangkuk.
Di dahi nya terlihat menghitam, tanda seringnya beliau bersujud kepada ALLAH, mukanya bercahaya tanda sering terbasuh oleh air wudhu … mukanya terlihat damai … jauh dari pikiran buruk kepada orang lain.
Apabila ada gelandangan yang lewat dan meminta sedikit makanan, beliau langsung menyajikan dan memberikan satu buah mangkuk penuh berisi bubur ayam tanpa meminta bayaran :
beliau hanya berkata ” keun weh karunya, bapa mah mening ngaladangan nu nyuhunkeun kitu tibatan ngaladangan preman2 nu emam bubur tapi kalalabur teu malayar”
(ga apa-apa, bapak sih mendingan melayani orang yang meminta secara sopan kepada saya daripada melayani preman-preman yang berlagak sok mau membeli tapi akhirnya tidak membayar ).
Lalu saya memberanikan diri untuk membuka pembicaraan dengan beliau…
Saya : ” Assalamu’alaikum Pak Haji, kumana damang Pajeng pa haji ?
(Assalamu’alakum Pak Haji, Gimana kabarnya? laku ya pak dagangannya? )
Penjual Bubur : ” Alhamdulillah Den, cekap kangge tuang mah …
(Alhamdulillah nak, cukup untuk makan sehari-hari)
Saya : ” Parantos sabaraha lami icalan didieu pa haji teh ?
(Sudah berapa lama bapak berjualan di sini pak?)
Penjual Bubur : ” Ti Taun 78 Den, Alhamdulillah mayeng. . Alhamdulillah tos tiasa angkat ka haji 2 x, putra tos jararanten sadayana … Alhamdulillah Den …
(Dari tahun 1978 nak, Alhamdulillah lancar … Alhamdulillah sudah bisa berangkat haji 2 x, anak saya semuanya sudah jadi orang.. Alhamdulillah nak.)
Saya : ” Rahasiana naon eta teh Pa Haji ?”
(Apa rahasianya pak haji?)
Penjual Bubur : “ULAH HILAP SHALAT DHUHA UNGGAL ENJING-ENJING INSYA ALLAH DIMUDAHKEUN URUSAN KU GUSTI NU MAHA SUCI“
(Jangan lupa laksanakan Shalat Dhuha setiap pagi, Insya Allah dimudahkan segala urusan oleh ALLAH SWT)
Di dunia mah hirup mung sakedap den, ayeuna mah urang siap-siap weh nyanghareupan sakaratul maut, ulah silap ku harta banda, moal dicandak ka liang lahat. kade ulah nuang rezeki nu haram. Insya Allah disayang ku Gusti.
(Hidup di dunia hanya sebentar nak, sekarang kita harus bersiap-siap menghadapi sakaratul maut, jangan tergiur oleh kemewahan dalam mengejar harta benda duniawi, percuma, hal tersebut tidak akan kita bawa ke liang lahat. Hindari memakan rezeki yang haram. Insya Allah akan disayang oleh Allah SWT.)
Saya : Pa haji, upami tabuh 7 tos se’ep mah naha teu nyandak langkung bubur teh ? naha mung nyandak 5 kg wae
(Pa Haji, bila setiap hari jam 7 pagi dagangan sudah habis, kenapa ga bawa buburnya dilebihin aja dari 5 kg? kenapa hanya di pas ambil 5 Kg)
Penjual Bubur : Mun dilangkungan, sok kacandak deui ka bumi, janten mubah. Panginten rezekina ti ALLAH mung 5 kg sadinten, eta teh kacandak Rp. 1jt sadinten, upami dinten minggon tiasa kacandak Rp. 2 jt sadinten..
(Bila dilebihin, suka jadi mubazir, akhirnya terbawa kembali ke rumah. Mungkin rezekinya dari ALLAH hanya 5 KG sehari, itu juga Bapak bisa bawa pulang 1 juta rupiah sehari, apabila hari minggu bisa bawa pulang 2 Jt..
Allah senantiasa memberikan Rahmat-Nya kepada setiap makhluk yang dikehendaki- Nya. Bahkan kepada bapak yang sehari-harinya hanya menjual bubur ayam …
“Dan apakah mereka tidak memperhatikan bahwa Sesungguhnya Allah melapangkan rezki bagi siapa yang dikehendaki-Nya dan Dia (pula) yang menyempitkan (rezki itu). Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang beriman” (QS. Ar-Ruum(30): 37)
Apakah kita termasuk umat yang diberi rahmat dan hidayah-Nya ?
Hanya Kita sendiri yang bisa menjawabnya.
Subhanallah...
Semoga Kita dapat mengambil pengetahuan yang bermanfaat dan bernilai ibadah dan semoga tulisan ini dapat membuka pintu hati Kita yang telah lama terkunci. Aamiin.
(Cantumkan jika ada doa khusus untuk ibu dan juga doa yang lainnya,agar kami para jamaah bisa mengaminkannya)
Silahkan Klik Like dan Bagikan di halamanmu agar kamu dan teman-temanmu senantiasa istiqomah dan bisa meningkatkan ketakwaannya kepada ALLAH SWT.
Ya ALLAH...
✔ Muliakanlah orang yang membaca tausiah ini
✔ Entengkanlah kakinya untuk melangkah ke masjid
✔ Lapangkanlah hatinya
✔ Bahagiakanlah keluarganya
✔ Luaskan rezekinya seluas lautan
✔ Mudahkan segala urusannya
✔ Kabulkan cita-citanya
✔ Jauhkan dari segala Musibah
✔ Jauhkan dari segala Penyakit,Fitnah,Prasangka Keji,Berkata Kasar dan Mungkar.
✔ Dan dekatkanlah jodohnya untuk orang yang membaca dan membagikan tausiah ini.
Aamiin ya Rabbal'alamin.
HIKMAH SEGELAS AIR
Khalifah Harun Al-Rasyid disaat gelisah ia sempat mengundang ulama terkemuka pada masanya, Abu As-Sammak. Nasihatilah aku! pinta Khalifah. Pada saat yang sama, pelayan membawa segelas air untuk Khalifah. Sebelum minum, sang Ulama Abu As-Sammak berkata, Tunggu sebentar. Seandainya dalam keadaan sangat haus, sedangkan segelas air ini tidak kau peroleh, berapakah harga yang kau siap bayar? Jawablah dengan penghayatan dan jujur!
Aku akan bayar Setengah dari kekayaanku, jawab Khalifah.
Sang ulama pun mempersilakan khalifah minum. Selesai minum, Abu As-Sammak bertanya lagi, Seandainya air tadi mendesak untuk dikeluarkan, tapi kau tak mampu mengeluarkannya, berapakah yang akan engkau bayarkan agar ia keluar?
Khalifah menjawab, Setengah dari kekayaanku.
Kalau demikian, maka sadarilah bahwa seluruh kekayaan dan kekuasaan yang ada di sisimu, nilainya hanya segelas air. Tidak wajar diperebutkan dan dipertahankan tanpa hak. Ketahuilah, betapa banyak nikmat Allah selain segelas air itu yang telah engkau nikmati sehingga tidak wajar jika engkau tidak mensyukurinya, nasihat sang Ulama Abu As-Sammak kepada Harun Al-Rasyid.
Dialog singkat di atas memberikan pelajaran berharga. Pertama, hendaklah para penguasa negeri (umara) dalam seluruh tingkat untuk senantiasa meminta dan mendengar nasihat para ulama, dan menerapkan Syariat Allah karena ini amanah Allah yang sangat besar kepada para Umara.
Selagi para umara masih mendengar nasihat ulama yang jujur dan ikhlas karena Allah dalam menyampaikan Risalah-Nya, maka Insya Allah negeri ini akan selamat dari murka Allah.
Kedua, nilai segelas air. Air sangat berharga dalam kehidupan manusia. Manusia akan mati jika kekurangan cairan (dehidrasi). Air adalah awal dan sumber kehidupan alam semesta. Allah turunkan air yang tidak asin dengan kadar tertentu agar mendatangkan kebaikan kepada manusia dan alam semesta. (QS Al-Waqiah [56]: 68-70).
Hikmah lainnya ialah Jangan sampai logika nafsu, pendapat dari fikiran manusia yang sempit serta egoisme, dan ilmu manusia yang serba terbatas, kecil dan relatif lemah menghalangi mereka dalam mentaati Allah dan Rosul-Nya.
SUBHANALLAH
"Semoga ALLAH bimbing kita agar senantiasa menjadi hamba-Nya yang tidak meremehkan waktu shalat, dan waktu2 yang sudah ALLAH berikan untuk kita. aamiin"
Sampaikan dakwah ini kepada sahabat, dan teman-teman facebook anda. Semoga pahala ini terus tersebar hingga membukakan pintu hati setiap orang yang membacanya
Aamiinkan doa ini saudaraku.
Allahumma ya ALLAH tanamkan di hati kami perasaan selalu rindu kepada-Mu, ingatkanlah selalu kami tentang dahsyatnya hari akhirat-Mu agar hamba tidak tertipu dengan kesenangan dunia sesaat ini, ya ALLAH, ya Tuhan kami, Penguasa hati kami, tetapkanlah hati kami dalam taqwa dan istiqomah agar tetap dijalan-Mu sampai akhir hayat nanti... Aamiin ya Rabbal'alamin
semoga segala apa yang sudah menjadi doa dan hajat kita segera dikabulkan Allah, dan segera dapat panggilan Allah untuk berkunjung dan menunaikan ibadah haji ke mekkah. Aamiin
Marilah kita berdoa, bermunajat kepada Allah. Semoga Allah mengampuni kita, dan menghapuskan kita dari segala dosa yang telah lalu.
Ya Allah,
Ampunilah semua dosa-dosa kami, baik sengaja atau pun tidak, berkahilah kami, ramahtilah kami, berikanlah kami hidayah-Mu agar kami senantiasa dekat kepada-Mu hingga akhir hayat.
Aamiin ya Rabbal'alamin
SUBHANALLAH
Semoga Orang Yang Berkomentar “Aamiin” termasuk orang-orang yang sholeh dan sholehah,
Dan Semoga yang saat ini lagi sakit, disembuhkan Allah penyakitnya, yang lagi kepengen punya anak, semoga Allah beri anak soleh dan soleha, dan yang lagi kepengen dapat jodoh, semoga Allah beri jodohnya terbaik sesuai apa yang dikehendaki. Dan untuk kita semua, semoga kita wafat dalam keadaan khusnul khotimah dan bisa memasuki surga-Nya dari pintu mana saja yang kita kehendaki. Aamiin ya Rabbal'alamiin
(Cantumkan jika ada doa khusus, agar kami para jamaah bisa mengaminkannya)
Silahkan Klik Like dan Bagikan di halamanmu agar kamu dan teman-temanmu senantiasa istiqomah dan bisa meningkatkan ketakwaannya kepada ALLAH SWT.
Ya ALLAH...
✔ Muliakanlah orang yang membaca tausiah ini
✔ Entengkanlah kakinya untuk melangkah ke masjid
✔ Lapangkanlah hatinya
✔ Bahagiakanlah keluarganya
✔ Luaskan rezekinya seluas lautan
✔ Mudahkan segala urusannya
✔ Kabulkan cita-citanya
✔ Jauhkan dari segala Musibah
✔ Jauhkan dari segala Penyakit,Fitnah,Prasangka Keji,Berkata Kasar dan Mungkar.
✔ Dan dekatkanlah jodohnya untuk orang yang membaca dans membagikan tausiah ini.
Aku akan bayar Setengah dari kekayaanku, jawab Khalifah.
Sang ulama pun mempersilakan khalifah minum. Selesai minum, Abu As-Sammak bertanya lagi, Seandainya air tadi mendesak untuk dikeluarkan, tapi kau tak mampu mengeluarkannya, berapakah yang akan engkau bayarkan agar ia keluar?
Khalifah menjawab, Setengah dari kekayaanku.
Kalau demikian, maka sadarilah bahwa seluruh kekayaan dan kekuasaan yang ada di sisimu, nilainya hanya segelas air. Tidak wajar diperebutkan dan dipertahankan tanpa hak. Ketahuilah, betapa banyak nikmat Allah selain segelas air itu yang telah engkau nikmati sehingga tidak wajar jika engkau tidak mensyukurinya, nasihat sang Ulama Abu As-Sammak kepada Harun Al-Rasyid.
Dialog singkat di atas memberikan pelajaran berharga. Pertama, hendaklah para penguasa negeri (umara) dalam seluruh tingkat untuk senantiasa meminta dan mendengar nasihat para ulama, dan menerapkan Syariat Allah karena ini amanah Allah yang sangat besar kepada para Umara.
Selagi para umara masih mendengar nasihat ulama yang jujur dan ikhlas karena Allah dalam menyampaikan Risalah-Nya, maka Insya Allah negeri ini akan selamat dari murka Allah.
Kedua, nilai segelas air. Air sangat berharga dalam kehidupan manusia. Manusia akan mati jika kekurangan cairan (dehidrasi). Air adalah awal dan sumber kehidupan alam semesta. Allah turunkan air yang tidak asin dengan kadar tertentu agar mendatangkan kebaikan kepada manusia dan alam semesta. (QS Al-Waqiah [56]: 68-70).
Hikmah lainnya ialah Jangan sampai logika nafsu, pendapat dari fikiran manusia yang sempit serta egoisme, dan ilmu manusia yang serba terbatas, kecil dan relatif lemah menghalangi mereka dalam mentaati Allah dan Rosul-Nya.
SUBHANALLAH
"Semoga ALLAH bimbing kita agar senantiasa menjadi hamba-Nya yang tidak meremehkan waktu shalat, dan waktu2 yang sudah ALLAH berikan untuk kita. aamiin"
Sampaikan dakwah ini kepada sahabat, dan teman-teman facebook anda. Semoga pahala ini terus tersebar hingga membukakan pintu hati setiap orang yang membacanya
Aamiinkan doa ini saudaraku.
Allahumma ya ALLAH tanamkan di hati kami perasaan selalu rindu kepada-Mu, ingatkanlah selalu kami tentang dahsyatnya hari akhirat-Mu agar hamba tidak tertipu dengan kesenangan dunia sesaat ini, ya ALLAH, ya Tuhan kami, Penguasa hati kami, tetapkanlah hati kami dalam taqwa dan istiqomah agar tetap dijalan-Mu sampai akhir hayat nanti... Aamiin ya Rabbal'alamin
semoga segala apa yang sudah menjadi doa dan hajat kita segera dikabulkan Allah, dan segera dapat panggilan Allah untuk berkunjung dan menunaikan ibadah haji ke mekkah. Aamiin
Marilah kita berdoa, bermunajat kepada Allah. Semoga Allah mengampuni kita, dan menghapuskan kita dari segala dosa yang telah lalu.
Ya Allah,
Ampunilah semua dosa-dosa kami, baik sengaja atau pun tidak, berkahilah kami, ramahtilah kami, berikanlah kami hidayah-Mu agar kami senantiasa dekat kepada-Mu hingga akhir hayat.
Aamiin ya Rabbal'alamin
SUBHANALLAH
Semoga Orang Yang Berkomentar “Aamiin” termasuk orang-orang yang sholeh dan sholehah,
Dan Semoga yang saat ini lagi sakit, disembuhkan Allah penyakitnya, yang lagi kepengen punya anak, semoga Allah beri anak soleh dan soleha, dan yang lagi kepengen dapat jodoh, semoga Allah beri jodohnya terbaik sesuai apa yang dikehendaki. Dan untuk kita semua, semoga kita wafat dalam keadaan khusnul khotimah dan bisa memasuki surga-Nya dari pintu mana saja yang kita kehendaki. Aamiin ya Rabbal'alamiin
(Cantumkan jika ada doa khusus, agar kami para jamaah bisa mengaminkannya)
Silahkan Klik Like dan Bagikan di halamanmu agar kamu dan teman-temanmu senantiasa istiqomah dan bisa meningkatkan ketakwaannya kepada ALLAH SWT.
Ya ALLAH...
✔ Muliakanlah orang yang membaca tausiah ini
✔ Entengkanlah kakinya untuk melangkah ke masjid
✔ Lapangkanlah hatinya
✔ Bahagiakanlah keluarganya
✔ Luaskan rezekinya seluas lautan
✔ Mudahkan segala urusannya
✔ Kabulkan cita-citanya
✔ Jauhkan dari segala Musibah
✔ Jauhkan dari segala Penyakit,Fitnah,Prasangka Keji,Berkata Kasar dan Mungkar.
✔ Dan dekatkanlah jodohnya untuk orang yang membaca dans membagikan tausiah ini.
Menjaga,Menata Lalu Bercahaya
Buatlah proyeksi nafkah rumahtangga secara ilmiah dan executable. JANGAN masukkan pertolongan Allah dalam hitungan, tapi siaplah dengan kejutanNya.
SALMAN Al Farisi memang sudah waktunya menikah. Seorangwanita Anshar yang dikenalnya sebagai wanita mukminah lagi shalihah juga telah mengambil tempat di hatinya. Tentu saja bukan sebagai kekasih. Tetapi sebagai sebuah pilihan dan pilahan yang dirasa tepat. Pilihan menurut akal sehat. Dan pilahan menurut perasaan yang halus, juga ruh yang suci. Tapi bagaimanapun, ia merasa asing di sini. Madinah bukanlah tempat kelahirannya.
Madinah bukanlah tempatnya tumbuh dewasa. Madinah memiliki adat, rasa bahasa, dan rupa-rupa yang belum begitu dikenalnya. Ia berfikir, melamar seorang gadis pribumi tentu menjadi sebuah urusan yang pelik bagi seorang pendatang. Harus ada seorang yang akrab dengan tradisi Madinah berbicara untuknya dalam khithbah. Maka disampaikannyalah gelegak hati itu kepada shahabat Anshar yang dipersaudarakan dengannya, Abud Darda’. ”Subhanallaah.. wal hamdulillaah..”, girang Abud Darda’ mendengarnya. Mereka tersenyum bahagia dan berpelukan. Maka setelah persiapan dirasa cukup, beriringanlah kedua shahabat itu menuju sebuah rumah di penjuru tengah kota Madinah. Rumah dari seorang wanita yang shalihah lagi bertaqwa. ”Saya adalah Abud Darda’, dan ini adalah saudara saya Salman seorang Persia. Allah telah memuliakannya dengan Islam dan dia juga telah memuliakan Islam dengan amal dan jihadnya. Dia memiliki kedudukan yang utama di sisi Rasulullah Shallallaahu ’Alaihi wa Sallam, sampai-sampai beliau menyebutnya sebagai ahli bait-nya?
Saya datang untuk mewakili saudara saya ini melamar putri Anda untuk dipersuntingnya.”, fasih Abud Darda’ bicara dalam logat Bani Najjar yang paling murni. ”Adalah kehormatan bagi kami”, ucap tuan rumah, ”Menerima anda berdua, shahabat Rasulullah yang mulia. Dan adalah kehormatan bagi keluarga ini bermenantukan seorang shahabat Rasulullah yang utama. Akan tetapi hak jawab ini sepenuhnya saya serahkan pada puteri kami.” Tuan rumah memberi isyarat ke arah hijab yang di belakangnya sang puteri menanti dengan segala debar hati. ”Maafkan kami atas keterusterangan ini”, kata suara lembut itu. Ternyata sang ibu yang bicara mewakili puterinya. ”Tetapi karena anda berdua yang datang, maka dengan mengharap ridha Allah saya menjawab bahwa puteri kami menolak pinangan Salman.
Namun jika Abud Darda’ kemudian juga memiliki urusan yang sama, maka puteri kami telah menyiapkan jawaban mengiyakan.” Jelas sudah. Keterusterangan yang mengejutkan, ironis, sekaligus indah. Sang puteri lebih tertarik kepada pengantar daripada pelamarnya! Itu mengejutkan dan ironis. Tapi saya juga mengatakan indah karena satu alasan; reaksi Salman. Bayangkan sebuah perasaan, di mana cinta dan persaudaraan bergejolak berebut tempat dalam hati. Bayangkan sebentuk malu yang membuncah dan bertemu dengan gelombang kesadaran; bahwa dia memang belum punya hak apapun atas orang yang dicintainya. Mari kita dengar ia bicara. ”Allahu Akbar!”, seru Salman, ”Semua mahar dan nafkah yang kupersiapkan ini akan aku serahkan pada Abud Darda’, dan aku akan menjadi saksi pernikahan kalian!”
♥♥♥ Tak mudah menjadi lelaki sejantan Salman. Tak mudah menjadi sahabat setulus Abud Darda’. Dan tak mudah menjadi wanita sejujur shahabiyah yang kelak kita kenal sebagai Ummud Darda’. Belajar menjadi mereka adalah proses belajar untuk menjadi orang yang benar dalam menata dan mengelola hati. Lalu merekapun bercahaya dalam pentas sejarah. Bagaimanakah kiranya? Ijinkan saya mengenang seorang ulama yang berhasil mengintisarikan Ihya’ ‘Ulumiddin karya Imam Al Ghazali. Ustadz Sa’id Hawa namanya. Dalam buku Tazkiyatun Nafs, beliau menggambarkan pada kita proses untuk menjadi orang yang shadiq, orang yang benar. Prosesnya ada empat, ialah sebagai berikut, Shidqun Niyah Artinya benar dalam niat.
Benar dalam semburat pertama hasrat hati. Benar dalam mengikhlaskan diri. Benar dalam menepis syak dan riya’. Benar dalam menghapus sum’ah dan ‘ujub. Benar dalam menatap lurus ke depan tanpa mempedulikan pujian kanan dan celaan kiri. Benar dalam kejujuran pada Allah. Benar dalam persangkaan pada Allah. Benar dalam meneguhkan hati. hidqul ‘Azm Artinya benar dalam tekad. Benar dalam keberanian-keberanian. Benar dalam janji-janji pada Allah dan dirinya. Benar dalam memancang target-target diri. Benar dalam pekik semangat. Benar dalam menemukan motivasi setiap kali. Benar dalam mengaktivasi potensi diri. Benar dalam memikirkan langkah-langkah pasti. Benar dalam memantapkan jiwa.
Shidqul Iltizam Artinya benar dalam komitmen. Benar dalam menetapi rencana-rencana. Benar dalam melanggengkan semangat dan tekad. Benar dalam memegang teguh nilai-nilai. Benar dalam memaksa diri. Benar dalam bersabar atas ujian dan gangguan. Benar dalam menghadapi tantangan dan ancaman. Benar dalam mengistiqamahkan dzikir, fikir, dan ikhtiyar.
Shidqul ‘Amaal Artinya benar dalam proses kerja. Benar dalam melakukan segalanya tanpa menabrak pagar-pagar Ilahi. Benar dalam cara. Benar dalam metode. Benar dalam langkah-langkah yang ditempuh. Benar dalam profesionalisme dan ihsannya amal. Benar dalam tiap gerak anggota badan. Nah, mari coba kita refleksikan proses menjadi orang benar ini dalam proses menuju pernikahan. Seperti Salman. Ia kuat memelihara aturan-aturan syar’i. Dan mengharukan caranya mengelola hasrat hati. Insyaallah dengan demikian keberkahan itu semakin mendekat. Jikalau Ash Shidq berarti kebenaran dan bermakna kejujuran, maka yang pertama akan tampak sebagai gejala keberkahan adalah di saat kita jujur dan benar dalam bersikap pada Allah dan manusia.
♥♥♥ Apa kiat sederhana untuk menjaga hati menyambut sang kawan sejati? Dari pengalaman, ini jawabnya: memfokuskan diri pada persiapan. Mereka yang berbakat gagal dalam pernikahan biasanya adalah mereka yang berfokus pada “Who”. Dengan siapa.
Mereka yang insyaallah bisa melalui kehidupan pernikahan yang penuh tantangan adalah mereka yang berfokus pada “Why” dan “How”. Mengapa dia menikah, dan bagaimana dia meraihnya dalam kerangka ridha Allah. Maka jika kau ingin tahu, inilah persiapan-persiapan itu: Persiapan Ruhiyah (Spiritual) Ini meliputi kesiapan kita untuk mengubah sikap mental menjadi lebih bertanggung jawab, sedia berbagi, meluntur ego, dan berlapang dada. Ada penekanan juga untuk siap menggunakan dua hal dalam hidup yang nyata, yakni sabar dan syukur. Ada kesiapan untuk tunduk dan menerima segala ketentuan Allah yang mengatur hidup kita seutuhnya, lebih-lebih dalam rumahtangga. Persiapan ‘Ilmiyah-Fikriyah (Ilmu-Intelektual) Bersiaplah menata rumahtangga dengan pengetahuan, ilmu, dan pemahaman. Ada ilmu tentang Ad Diin. Ada ilmu tentang berkomunikasi yang ma’ruf kepada pasangan. Ada ilmu untuk menjadi orangtua yang baik (parenting). Ada ilmu tentang penataan ekonomi. Dan banyak ilmu yang lain.
Persiapan Jasadiyah (Fisik) Jika memiliki penyakit-penyakit, apalagi berkait dengan kesehatan reproduksi, harus segera diikhtiyarkan penyembuhannya. Keputihan pada akhwat misalnya. Atau gondongan (parotitis) bagi ikhwan. Karena virus yang menyerang kelenjar parotid ini, jika tak segera diblok, bisa menyerang testis. Panu juga harus disembuhkan, he he. Perhatikan kebersihan. Yang lain, perhatikan makanan. Pokoknya harus halal, thayyib, dan teratur. Hapus kebiasaan jajan sembarangan. Tentang pakaian juga, apalagi pada bagian yang paling pribadi. Kebiasaan memakai dalaman yang terlalu ketat misalnya, berefek sangat buruk bagi kualitas sperma. Nah. Persiapan Maaliyah (Material) Konsep awal; tugas suami adalah menafkahi, bukan mencari nafkah. Nah, bekerja itu keutamaan & penegasan kepemimpinan suami. Persiapan finansial nikah sama sekali tidak bicara tentang berapa banyak uang, rumah kendaraan yang harus kita punya.
Persiapan finansial bicara tentang kapabilitas menghasilkan nafkah, wujudnya upaya untuk itu dan kemampuan mengelola sejumlah apapun ia. Maka memulai per nikahan, bukan soal apa kita sudah punya tabungan, rumah dan kendaraan. Ia soal kompetensi dan kehendak baik menafkahi. Adalah ‘Ali ibn Abi Thalib memulai pernikahannya bukan dari nol, melainkan minus: rumah, perabot, dan lain-lain dari sumbangan kawan dihitung hutang oleh Nabi. Tetapi ‘Ali menunjukkan diri sebagai calon suami kompeten; dia mandiri, siap bekerja jadi kuli air dengan upah segenggam kurma. Maka sesudah kompetensi & kehendak menafkahi yang wujud dalam aksi bekerja -apapun ia-, iman menuntun: pernikahan itu jalan Allah membuka kekayaan (QS 24: 32).
Buatlah proyeksi nafkah rumahtangga secara ilmiah dan executable. Jangan dan ukkan pertolongan Allah dalam hitungan, tapi siaplah dengan kejutanNya. Kemapanan itu tidak abadi. Saat belum mapan masing-masing pasangan bisa belajar untuk menghadapi lapang maupun sempitnya kehidupan. Bahkan ketidakmapanan yang disikapi positif menurut penelitian Linda J. Waite, signifikan memperkuat ikatan cinta. Ketidakmapanan yang dinamis menurut penelitian Karolinska Institute Swedia, menguatkan jantung dan meningkatkan angka harapan hidup. Persiapan Ijtima’iyyah (Sosial) Artinya, siap untuk bermasyarakat, faham bagaimana bertetangga, mengerti bagaimana bersosialisasi dan mengambil peran di tengah masyarakat. Juga tak kalah penting, memiliki visi dan misi da’wah di lingkungannya. Nah, ini semua adalah persiapan. Artinya sesuatu yang kita kerjakan dalam proses yang tak berhenti.
Seberapa banyak dari persiapan di atas yang harus dicapai sebelum menikah? Ukurannya menjadi sangat relatif. Karena, bahkan proses persiapan hakikatnya adalah juga proses perbaikan diri yang kita lakukan sepanjang waktu. Setelah menikah pun, kita tetap harus terus mengasah apa-apa yang kita sebut sebagai persiapan menikah itu. Lalu, kapan kita menikah? Ya. Memang harus ada parameter yang jelas. Apa? Rasulullah ternyata hanya menyebut satu parameter di dalam hadits berikut ini. Satu saja. Coba perhatikan. “Wahai sekalian pemuda, barangsiapa di antara kalian telah bermampu BA’AH, maka hendaklah ia menikah, karena pernikahan lebih dapat menundukkan pandangan dan menjaga kehormatan farj. Dan barangsiapa belum mampu, hendaklah ia berpuasa, sungguh puasa itu benteng baginya.” (HR Al Bukhari dan Muslim)
Hanya ada satu parameter saja. Apa itu? Ya, ba’ah. Apa itu ba’ah? Sebagian ‘ulama berbeda pendapat tetapi menyepakati satu hal. Makna ba’ah yang utama adalah kemampuan biologis, kemampuan berjima’. Adapun makna tambahannya, menurut Imam Asy Syaukani adalah al mahru wan nafaqah, mahar dan nafkah. Sedang menurut ‘ulama lain adalh penyediaan tempat tinggal. Tetapi, makna utamalah yang ditekankan yakni kemampuan jima’. Maka, kita dapati generasi awal ummat ini menikahkan putra-putri mereka di usia muda. Bahkan sejak mengalami ihtilam (mimpi basah) pertama kali.
Sehingga, kata Ustadz Darlis Fajar, di masa Imam Malik, Asy Syafi’i, Ahmad, tidak ada kenakalan remaja. Lihatlah sekarang, kata beliau, ulama-ulama besar dan tokoh-tokoh menyejarah menikah di usia belasan. Yusuf Al Qaradlawi menikah di usia belasan, ‘Ali Ath Thanthawi juga begitu. Beliau lalu mengutip hasil sebuah riset baru di Timur Tengah, bahwa penyebab banyaknya kerusakan moral di tengah masyarakat adalah banyaknya bujangan dan lajang di tengah masyarakat itu. Nah. Selesai sudah. Seberapa pun persiapan, sesedikit apapun bekal, anda sudah dituntut menikah kalau sudah ba’ah. Maka persiapan utama adalah komitmen. Komitmen untuk menjadikan pernikahan sebagai perbaikan diri terus menerus. Saya ingin menegaskan, sesudah kebenaran dan kejujuran, gejala awal dari barakah adalah mempermudah proses dan tidak mempersulit diri, apalagi mempersulit orang lain. Sudah berani melangkah sekarang? Apakah anda masih perlu sebuah jaminan lagi? Baik, Allah akan memberikannya, Allah akan menggaransinya: “Ada tiga golongan yang wajib bagi Allah menolong mereka. Pertama, budak mukatab yang ingin melunasi dirinya agar bisa merdeka. Dua, orang yang menikah demi menjaga kesucian dirinya dari ma’shiat. Dan ketiga, para mujahid di jalan Allah.” (HR At Tirmidzi, An Nasa’i, dan Ibnu Majah)
Pernah di sebuha milis, saya juga menyentil sebuah logika kecil yang pernah disampaikan seorang kawan lalu saya modifikasi sedikit. Apa itu? Tentang bahwa menikah itu membuka pintu rizqi. Jadi logikanya begini. Jatah rizqi kita itu sudah ada, sudah pasti sekian-sekian. Kita diberi pilihan-pilihan oleh Allah untuk mengambilnya dari jalan manapun. Tetapi, ia bisa terhalang oleh beberapa hal semisal malas, gengsi, dan ma’shiat.
Kata ‘Umar ibn Al Khaththab, pemuda yang tidak berkeinginan segera menikah itu kemungkinannya dua. Kalau tidak banyak ma’shiatnya, pasti diragukan kejantanannya. Nah, kebanyakan insyaallah jantan. Cuma ada ma’shiat. Ini saja sudah menghalangi rizqi. Belum lagi gengsi dan pilih-pilih pekerjaan yang kita alami sebelum menikah. Malu, gengsi, pilih-pilih. Tapi begitu menikah, anda mendapat tuntutan tanggungjawab untuk menafkahi. Bagi yang berakal sehat, tanggungjawab ini akan menghapus gengsi dan pilih-pilih itu.
Ada kenekatan yang bertanggungjwab ditambah berkurangnya ma’shiat karena di sisi sudah ada isteri yang Allah halalkan. Apalagi, kalau memperbanyak istighfar. Rizqi akan datang bertubi-tubi. Seperti kata Nabi Nuh ini, “Maka aku katakan kepada mereka: “Beristighfarlah kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun. Niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai.” (Nuh 10-12) Pernah membayangkan punya perkebunan yang dialiri sungai-sungai pribadi? Banyaklah beristighfar, dan segeralah menikah, insyaallah barakah. Nah, saya sudah menyampaikan. Sekali lagi, gejala awal dari barakahnya sebuah pernikahan adalah kejujuran ruh, terjaganya proses dalam bingkai syaria’t, dan memudahkan diri. Ingat kata kuncinya; jujur, syar’i, mudah. Saya sudah menyampaikan, Allaahummasyhad! Ya Allah saksikanlah! Jika masih ada ragu menyisa, pertanyaan Nabi Nuh di ayat selanjutnya amat relevan ditelunjukkan ke arah wajah kita. “Mengapa kamu tidak percaya akan kebesaran Allah?” (Nuh 13) Begitulah.
SALMAN Al Farisi memang sudah waktunya menikah. Seorangwanita Anshar yang dikenalnya sebagai wanita mukminah lagi shalihah juga telah mengambil tempat di hatinya. Tentu saja bukan sebagai kekasih. Tetapi sebagai sebuah pilihan dan pilahan yang dirasa tepat. Pilihan menurut akal sehat. Dan pilahan menurut perasaan yang halus, juga ruh yang suci. Tapi bagaimanapun, ia merasa asing di sini. Madinah bukanlah tempat kelahirannya.
Madinah bukanlah tempatnya tumbuh dewasa. Madinah memiliki adat, rasa bahasa, dan rupa-rupa yang belum begitu dikenalnya. Ia berfikir, melamar seorang gadis pribumi tentu menjadi sebuah urusan yang pelik bagi seorang pendatang. Harus ada seorang yang akrab dengan tradisi Madinah berbicara untuknya dalam khithbah. Maka disampaikannyalah gelegak hati itu kepada shahabat Anshar yang dipersaudarakan dengannya, Abud Darda’. ”Subhanallaah.. wal hamdulillaah..”, girang Abud Darda’ mendengarnya. Mereka tersenyum bahagia dan berpelukan. Maka setelah persiapan dirasa cukup, beriringanlah kedua shahabat itu menuju sebuah rumah di penjuru tengah kota Madinah. Rumah dari seorang wanita yang shalihah lagi bertaqwa. ”Saya adalah Abud Darda’, dan ini adalah saudara saya Salman seorang Persia. Allah telah memuliakannya dengan Islam dan dia juga telah memuliakan Islam dengan amal dan jihadnya. Dia memiliki kedudukan yang utama di sisi Rasulullah Shallallaahu ’Alaihi wa Sallam, sampai-sampai beliau menyebutnya sebagai ahli bait-nya?
Saya datang untuk mewakili saudara saya ini melamar putri Anda untuk dipersuntingnya.”, fasih Abud Darda’ bicara dalam logat Bani Najjar yang paling murni. ”Adalah kehormatan bagi kami”, ucap tuan rumah, ”Menerima anda berdua, shahabat Rasulullah yang mulia. Dan adalah kehormatan bagi keluarga ini bermenantukan seorang shahabat Rasulullah yang utama. Akan tetapi hak jawab ini sepenuhnya saya serahkan pada puteri kami.” Tuan rumah memberi isyarat ke arah hijab yang di belakangnya sang puteri menanti dengan segala debar hati. ”Maafkan kami atas keterusterangan ini”, kata suara lembut itu. Ternyata sang ibu yang bicara mewakili puterinya. ”Tetapi karena anda berdua yang datang, maka dengan mengharap ridha Allah saya menjawab bahwa puteri kami menolak pinangan Salman.
Namun jika Abud Darda’ kemudian juga memiliki urusan yang sama, maka puteri kami telah menyiapkan jawaban mengiyakan.” Jelas sudah. Keterusterangan yang mengejutkan, ironis, sekaligus indah. Sang puteri lebih tertarik kepada pengantar daripada pelamarnya! Itu mengejutkan dan ironis. Tapi saya juga mengatakan indah karena satu alasan; reaksi Salman. Bayangkan sebuah perasaan, di mana cinta dan persaudaraan bergejolak berebut tempat dalam hati. Bayangkan sebentuk malu yang membuncah dan bertemu dengan gelombang kesadaran; bahwa dia memang belum punya hak apapun atas orang yang dicintainya. Mari kita dengar ia bicara. ”Allahu Akbar!”, seru Salman, ”Semua mahar dan nafkah yang kupersiapkan ini akan aku serahkan pada Abud Darda’, dan aku akan menjadi saksi pernikahan kalian!”
♥♥♥ Tak mudah menjadi lelaki sejantan Salman. Tak mudah menjadi sahabat setulus Abud Darda’. Dan tak mudah menjadi wanita sejujur shahabiyah yang kelak kita kenal sebagai Ummud Darda’. Belajar menjadi mereka adalah proses belajar untuk menjadi orang yang benar dalam menata dan mengelola hati. Lalu merekapun bercahaya dalam pentas sejarah. Bagaimanakah kiranya? Ijinkan saya mengenang seorang ulama yang berhasil mengintisarikan Ihya’ ‘Ulumiddin karya Imam Al Ghazali. Ustadz Sa’id Hawa namanya. Dalam buku Tazkiyatun Nafs, beliau menggambarkan pada kita proses untuk menjadi orang yang shadiq, orang yang benar. Prosesnya ada empat, ialah sebagai berikut, Shidqun Niyah Artinya benar dalam niat.
Benar dalam semburat pertama hasrat hati. Benar dalam mengikhlaskan diri. Benar dalam menepis syak dan riya’. Benar dalam menghapus sum’ah dan ‘ujub. Benar dalam menatap lurus ke depan tanpa mempedulikan pujian kanan dan celaan kiri. Benar dalam kejujuran pada Allah. Benar dalam persangkaan pada Allah. Benar dalam meneguhkan hati. hidqul ‘Azm Artinya benar dalam tekad. Benar dalam keberanian-keberanian. Benar dalam janji-janji pada Allah dan dirinya. Benar dalam memancang target-target diri. Benar dalam pekik semangat. Benar dalam menemukan motivasi setiap kali. Benar dalam mengaktivasi potensi diri. Benar dalam memikirkan langkah-langkah pasti. Benar dalam memantapkan jiwa.
Shidqul Iltizam Artinya benar dalam komitmen. Benar dalam menetapi rencana-rencana. Benar dalam melanggengkan semangat dan tekad. Benar dalam memegang teguh nilai-nilai. Benar dalam memaksa diri. Benar dalam bersabar atas ujian dan gangguan. Benar dalam menghadapi tantangan dan ancaman. Benar dalam mengistiqamahkan dzikir, fikir, dan ikhtiyar.
Shidqul ‘Amaal Artinya benar dalam proses kerja. Benar dalam melakukan segalanya tanpa menabrak pagar-pagar Ilahi. Benar dalam cara. Benar dalam metode. Benar dalam langkah-langkah yang ditempuh. Benar dalam profesionalisme dan ihsannya amal. Benar dalam tiap gerak anggota badan. Nah, mari coba kita refleksikan proses menjadi orang benar ini dalam proses menuju pernikahan. Seperti Salman. Ia kuat memelihara aturan-aturan syar’i. Dan mengharukan caranya mengelola hasrat hati. Insyaallah dengan demikian keberkahan itu semakin mendekat. Jikalau Ash Shidq berarti kebenaran dan bermakna kejujuran, maka yang pertama akan tampak sebagai gejala keberkahan adalah di saat kita jujur dan benar dalam bersikap pada Allah dan manusia.
♥♥♥ Apa kiat sederhana untuk menjaga hati menyambut sang kawan sejati? Dari pengalaman, ini jawabnya: memfokuskan diri pada persiapan. Mereka yang berbakat gagal dalam pernikahan biasanya adalah mereka yang berfokus pada “Who”. Dengan siapa.
Mereka yang insyaallah bisa melalui kehidupan pernikahan yang penuh tantangan adalah mereka yang berfokus pada “Why” dan “How”. Mengapa dia menikah, dan bagaimana dia meraihnya dalam kerangka ridha Allah. Maka jika kau ingin tahu, inilah persiapan-persiapan itu: Persiapan Ruhiyah (Spiritual) Ini meliputi kesiapan kita untuk mengubah sikap mental menjadi lebih bertanggung jawab, sedia berbagi, meluntur ego, dan berlapang dada. Ada penekanan juga untuk siap menggunakan dua hal dalam hidup yang nyata, yakni sabar dan syukur. Ada kesiapan untuk tunduk dan menerima segala ketentuan Allah yang mengatur hidup kita seutuhnya, lebih-lebih dalam rumahtangga. Persiapan ‘Ilmiyah-Fikriyah (Ilmu-Intelektual) Bersiaplah menata rumahtangga dengan pengetahuan, ilmu, dan pemahaman. Ada ilmu tentang Ad Diin. Ada ilmu tentang berkomunikasi yang ma’ruf kepada pasangan. Ada ilmu untuk menjadi orangtua yang baik (parenting). Ada ilmu tentang penataan ekonomi. Dan banyak ilmu yang lain.
Persiapan Jasadiyah (Fisik) Jika memiliki penyakit-penyakit, apalagi berkait dengan kesehatan reproduksi, harus segera diikhtiyarkan penyembuhannya. Keputihan pada akhwat misalnya. Atau gondongan (parotitis) bagi ikhwan. Karena virus yang menyerang kelenjar parotid ini, jika tak segera diblok, bisa menyerang testis. Panu juga harus disembuhkan, he he. Perhatikan kebersihan. Yang lain, perhatikan makanan. Pokoknya harus halal, thayyib, dan teratur. Hapus kebiasaan jajan sembarangan. Tentang pakaian juga, apalagi pada bagian yang paling pribadi. Kebiasaan memakai dalaman yang terlalu ketat misalnya, berefek sangat buruk bagi kualitas sperma. Nah. Persiapan Maaliyah (Material) Konsep awal; tugas suami adalah menafkahi, bukan mencari nafkah. Nah, bekerja itu keutamaan & penegasan kepemimpinan suami. Persiapan finansial nikah sama sekali tidak bicara tentang berapa banyak uang, rumah kendaraan yang harus kita punya.
Persiapan finansial bicara tentang kapabilitas menghasilkan nafkah, wujudnya upaya untuk itu dan kemampuan mengelola sejumlah apapun ia. Maka memulai per nikahan, bukan soal apa kita sudah punya tabungan, rumah dan kendaraan. Ia soal kompetensi dan kehendak baik menafkahi. Adalah ‘Ali ibn Abi Thalib memulai pernikahannya bukan dari nol, melainkan minus: rumah, perabot, dan lain-lain dari sumbangan kawan dihitung hutang oleh Nabi. Tetapi ‘Ali menunjukkan diri sebagai calon suami kompeten; dia mandiri, siap bekerja jadi kuli air dengan upah segenggam kurma. Maka sesudah kompetensi & kehendak menafkahi yang wujud dalam aksi bekerja -apapun ia-, iman menuntun: pernikahan itu jalan Allah membuka kekayaan (QS 24: 32).
Buatlah proyeksi nafkah rumahtangga secara ilmiah dan executable. Jangan dan ukkan pertolongan Allah dalam hitungan, tapi siaplah dengan kejutanNya. Kemapanan itu tidak abadi. Saat belum mapan masing-masing pasangan bisa belajar untuk menghadapi lapang maupun sempitnya kehidupan. Bahkan ketidakmapanan yang disikapi positif menurut penelitian Linda J. Waite, signifikan memperkuat ikatan cinta. Ketidakmapanan yang dinamis menurut penelitian Karolinska Institute Swedia, menguatkan jantung dan meningkatkan angka harapan hidup. Persiapan Ijtima’iyyah (Sosial) Artinya, siap untuk bermasyarakat, faham bagaimana bertetangga, mengerti bagaimana bersosialisasi dan mengambil peran di tengah masyarakat. Juga tak kalah penting, memiliki visi dan misi da’wah di lingkungannya. Nah, ini semua adalah persiapan. Artinya sesuatu yang kita kerjakan dalam proses yang tak berhenti.
Seberapa banyak dari persiapan di atas yang harus dicapai sebelum menikah? Ukurannya menjadi sangat relatif. Karena, bahkan proses persiapan hakikatnya adalah juga proses perbaikan diri yang kita lakukan sepanjang waktu. Setelah menikah pun, kita tetap harus terus mengasah apa-apa yang kita sebut sebagai persiapan menikah itu. Lalu, kapan kita menikah? Ya. Memang harus ada parameter yang jelas. Apa? Rasulullah ternyata hanya menyebut satu parameter di dalam hadits berikut ini. Satu saja. Coba perhatikan. “Wahai sekalian pemuda, barangsiapa di antara kalian telah bermampu BA’AH, maka hendaklah ia menikah, karena pernikahan lebih dapat menundukkan pandangan dan menjaga kehormatan farj. Dan barangsiapa belum mampu, hendaklah ia berpuasa, sungguh puasa itu benteng baginya.” (HR Al Bukhari dan Muslim)
Hanya ada satu parameter saja. Apa itu? Ya, ba’ah. Apa itu ba’ah? Sebagian ‘ulama berbeda pendapat tetapi menyepakati satu hal. Makna ba’ah yang utama adalah kemampuan biologis, kemampuan berjima’. Adapun makna tambahannya, menurut Imam Asy Syaukani adalah al mahru wan nafaqah, mahar dan nafkah. Sedang menurut ‘ulama lain adalh penyediaan tempat tinggal. Tetapi, makna utamalah yang ditekankan yakni kemampuan jima’. Maka, kita dapati generasi awal ummat ini menikahkan putra-putri mereka di usia muda. Bahkan sejak mengalami ihtilam (mimpi basah) pertama kali.
Sehingga, kata Ustadz Darlis Fajar, di masa Imam Malik, Asy Syafi’i, Ahmad, tidak ada kenakalan remaja. Lihatlah sekarang, kata beliau, ulama-ulama besar dan tokoh-tokoh menyejarah menikah di usia belasan. Yusuf Al Qaradlawi menikah di usia belasan, ‘Ali Ath Thanthawi juga begitu. Beliau lalu mengutip hasil sebuah riset baru di Timur Tengah, bahwa penyebab banyaknya kerusakan moral di tengah masyarakat adalah banyaknya bujangan dan lajang di tengah masyarakat itu. Nah. Selesai sudah. Seberapa pun persiapan, sesedikit apapun bekal, anda sudah dituntut menikah kalau sudah ba’ah. Maka persiapan utama adalah komitmen. Komitmen untuk menjadikan pernikahan sebagai perbaikan diri terus menerus. Saya ingin menegaskan, sesudah kebenaran dan kejujuran, gejala awal dari barakah adalah mempermudah proses dan tidak mempersulit diri, apalagi mempersulit orang lain. Sudah berani melangkah sekarang? Apakah anda masih perlu sebuah jaminan lagi? Baik, Allah akan memberikannya, Allah akan menggaransinya: “Ada tiga golongan yang wajib bagi Allah menolong mereka. Pertama, budak mukatab yang ingin melunasi dirinya agar bisa merdeka. Dua, orang yang menikah demi menjaga kesucian dirinya dari ma’shiat. Dan ketiga, para mujahid di jalan Allah.” (HR At Tirmidzi, An Nasa’i, dan Ibnu Majah)
Pernah di sebuha milis, saya juga menyentil sebuah logika kecil yang pernah disampaikan seorang kawan lalu saya modifikasi sedikit. Apa itu? Tentang bahwa menikah itu membuka pintu rizqi. Jadi logikanya begini. Jatah rizqi kita itu sudah ada, sudah pasti sekian-sekian. Kita diberi pilihan-pilihan oleh Allah untuk mengambilnya dari jalan manapun. Tetapi, ia bisa terhalang oleh beberapa hal semisal malas, gengsi, dan ma’shiat.
Kata ‘Umar ibn Al Khaththab, pemuda yang tidak berkeinginan segera menikah itu kemungkinannya dua. Kalau tidak banyak ma’shiatnya, pasti diragukan kejantanannya. Nah, kebanyakan insyaallah jantan. Cuma ada ma’shiat. Ini saja sudah menghalangi rizqi. Belum lagi gengsi dan pilih-pilih pekerjaan yang kita alami sebelum menikah. Malu, gengsi, pilih-pilih. Tapi begitu menikah, anda mendapat tuntutan tanggungjawab untuk menafkahi. Bagi yang berakal sehat, tanggungjawab ini akan menghapus gengsi dan pilih-pilih itu.
Ada kenekatan yang bertanggungjwab ditambah berkurangnya ma’shiat karena di sisi sudah ada isteri yang Allah halalkan. Apalagi, kalau memperbanyak istighfar. Rizqi akan datang bertubi-tubi. Seperti kata Nabi Nuh ini, “Maka aku katakan kepada mereka: “Beristighfarlah kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun. Niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai.” (Nuh 10-12) Pernah membayangkan punya perkebunan yang dialiri sungai-sungai pribadi? Banyaklah beristighfar, dan segeralah menikah, insyaallah barakah. Nah, saya sudah menyampaikan. Sekali lagi, gejala awal dari barakahnya sebuah pernikahan adalah kejujuran ruh, terjaganya proses dalam bingkai syaria’t, dan memudahkan diri. Ingat kata kuncinya; jujur, syar’i, mudah. Saya sudah menyampaikan, Allaahummasyhad! Ya Allah saksikanlah! Jika masih ada ragu menyisa, pertanyaan Nabi Nuh di ayat selanjutnya amat relevan ditelunjukkan ke arah wajah kita. “Mengapa kamu tidak percaya akan kebesaran Allah?” (Nuh 13) Begitulah.
KISAH SEBUAH KELUARGA KECIL YANG MENGHARUKAN HATI
Bismillahir-Rahmaanir-Rahim ..
Hujan kian deras mengguyur bumi. Sesekali aku harus memeluk Dafa yang masih bayi ketika suara guruh menggedor-gedor pintu langit dengan kerasnya.
Aku memandang sayu ke arah anak-anakku yang tertidur di atas tikar pandan. Duhai.. alangkah indah dan sucinya wajah mereka. Kutatapi wajah mereka satu persatu dengan nikmatnya. Demikiankah wajah bidadari kecil dari syurga Allah?
Sejenak aku terlupa betapa seperempat jam yang lalu ketiga bidadariku itu menangis karena lapar yang tidak tertahankan. Zakia yang paling besar menangis dengan keras sekali sambil menghentak-hentakkan kaki.
“Zakia lapar, Umi. Lapaar..mana nasinya?” Sementara Yamin yang masih tiga tahun hanya bisa merengek-rengek panjang dengan kosa kata yang terbatas, “Umi, mo mamam, Umi.”
Kutatapi segenggam beras yang masih tersisa. Subhanallah..teringat aku kepada Mas Darman, Abinya anak-anak. Tadi pagi ia berangkat tanpa sarapan apapun kecuali segelas air sumur yang kumasak dengan kayu api. Bagaimana kalau hari ini Abi tidak berhasil membawa seliter beraspun seperti kemarin.
Abi cuma kuli upahan yang membawa cangkul ke mana-mana. Syukur sekali jika ada truk yang menawarkan kerjaan menurunkan pasir atau mengisi tanah merah. Dari kerja ikut truk biasanya Abi bisa dapat uang delapan ribu rupiah. Alhamdulillah cukup untuk beli beras dua tiga liter.
Kemarin Abi juga hanya sarapan segelas air sumur. Kuselipkan di saku celananya yang lusuh uang seribu rupiah. Malam harinya Abi pulang dengan seulas senyum kepasrahan.
“Dapat kerjaan tadi, Bi?”
“Alhamdulillah, belum, Mi.”
“Tadi siang sempat makan, nggak?”
“Umi kan ngasih uang seribu rupiah. Abi belikan roti tujuh ratus rupiah. Nih sisanya masih tiga ratus.”
“Memang masih ada roti harga tujuh ratus?”
“Ada, tapi kayaknya harga aslinya seribuan deh. Mungkin Mas Budi ngasih diskon ke Abi.”.
Abi tersenyum manis kepadaku sambil menyerahkan sisa uang tiga ratus ke tanganku. Laa hawla walaa quwwata illa billaah. Berarti hari ini Abi cuma makan sepotong roti tujuh ratusan. Dan itu juga berarti besok tidak bisa beli beras.
Kuamati sisa beras yang cuma tinggal dua genggam lagi dan tiga keping uang logam seratusan di telapak tanganku yang diam membisu.
Pagi itu aku tidak tega membiarkan Abi memanggul cangkulnya dengan perut berisi air sumur. Kutanak beras segenggam dengan air yang agak banjir dan kucampur dengan beberapa sendok tepung gandum. Rasanya? Aduh..jangan tanya deh. Yang penting ada kalori yang mengisi badan suamiku. Kasihan..sudah dua hari perutnya tidak diisi apa-apa.
“Umi, biar saja nasi itu buat anak-anak kita.” Kata suamiku.
Aku tersenyum manis kepadanya dengan meredam seluruh kesedihan dan kecemasanku di hari itu. “Nggak, yang ini untuk Abi. Nanti buat anak-anak Umi siapkan pisang rebus”.
Dalam hati aku bergumam, pisang rebus dari mana? Pisang mentah yang dibawah Mas Darman kemarin sudah habis dimakan anak-anak. Namun setidaknya bujukanku berhasil. Mas Darman mau memakan sarapan nasi campur tepung gandum itu.
Pagi itu aku tidak memberikan sarapan kepada anak. Kurebus saja air campur sedikit gula jawa yang masih tersisa. Kuberikan semuanya kepada mereka. Aku cuma membasahi tenggorokan dengan seteguk air.
Tetapi jam sepuluh pagi anak-anakku yang sedang dalam masa pertumbuhan itu mulai merengek-rengek minta makan. Mereka bahkan secara dramatis menguji kesabaranku dengan menunjuk-nunjuk tukang bubur dan ketupat tahu yang lewat di depan rumah petak kami.
Padahal tidak pernah sekalipun aku menyuapi mereka dengan makanan semewah itu. Ya Allah ..mungkin rasa lapar yang mendesak mereka bersikap secara natural seperti itu.
Kubujuk mereka dengan kepandaianku bercerita. Mereka suka mendengar ceritaku sehingga tersenyum-senyum gembira. Untuk beberapa saat rasa lapar dapat kami lupakan..
Namun setelah sholat Zuhur mereka kembali menyuarakan pesan yang dihembuskan dari lambung-lambung yang kosong. Kutatap segenggam beras terakhir yang menjadi tapal batas pertahanan terakhirku.
Kumasak segenggam beras menjadi bubur yang sangat cair. Kububuhkan sedikit garam ke dalamnya Anak-anakku makan dengan lahap sekali. Nafas mereka mendengus-dengus saking lahapnya.
Sayang mereka harus menggigit jari saat meminta tambahan. Bubur itu sudah habis. Kubawa panci itu kebelakang dan kusapu sisa bubur itu dengan jari-jariku. Kemudian akupun kembali mengisi kekosongan perut dengan air sumur yang dingin.
Anak-anakku tertidur pulas. Melihat wajah mereka saat tidur merupakan salah satu hiburan yang mewah bagi jiwaku yang sedang kalut dan cemas. Mudah-mudahan Mas Darman cepat pulang dan membawa sedikit beras untuk makanan mereka.
***********
Awal menikah dengan Mas Darman yang sekarang menjadi ayah anak-anakku, masalah ini tidak pernah terjadi. Dulu semua orang termasuk diriku sendiri heran bin ajaib, mengapa anak seorang tentara seperti aku kok jatuh cinta dengan Darman yang cuma tukang bakso.
Dilihat dari tampang memang tidak ada seorangpun yang dapat menafikan kegantengannya. Tapi suer ..aku naksir dia bukan karena kegantengannya.
“Melangkah ke jenjang rumah tangga itu tidak cukup hanya dengan berbekal cinta.” Papa menegurku dengan bahasa yang klise.
“Pokoknya Mama cuma mau kamu nikah sama Gunawan yang calon dokter itu. Lain orang Mama tidak setuju”. Mama menyebut-nyebut lagi nama Mas Gunawan. Padahal semua orang tahu dia sudah punya pacar. Apa belum ada yang bilang ke Mama.
Berhari-hari mereka membujukku dengan berbagai cara. Akhirnya mereka meminta kak Mita, kakakku yang sudah menikah untuk membujukku. Hmm..Kak Mita sangat sayang padaku dan pasti akan senantiasa membelaku. Kesempatan itu justru akan kugunakan untuk balik membujuk kak Mita.
“Yuli sayang..bagaimana sih ceritanya kok kamu bisa kecantol sama Mas Darman?”
“Hmm..Tepatnya aku sendiri tidak tahu, kak. Tapi aku merasa terpesona dengan keindahan suaranya ketika mengumandangkan azan Subuh. Tentang ini Papa juga setuju lho sama aku”.
“Terus..”
“Suatu hari aku memberhentikan gerobak baksonya. Aku beli semangkok bakso sambil mengucapkan terima kasih karena telah membangunkanku setiap Subuh.”
“Terus..”
“Dia cuma menjawab, Ya sambil terus menundukkan pandangan. Semua pertanyaanku dijawabnya singkat tanpa berani menatap mataku. Melihat sikapnya yang sopan itu hatiku jadi berbunga-bunga. Kayaknya di situlah hatiku mulai tersangkut, kak Mitaku sayang.”
“Terus..”
“Ya..sejak hari itu akupun bergerilya untuk menawan hatinya. Alhamdulillah, dia akhirnya mengirim sepucuk surat kepadaku.”
“Tapi Ya Allah, Yuli..dia kan cuma tukang bakso. Gerobak aja masih belum punya sendiri. Asal-usulnya dari Brebes juga nggak jelas.” Kak Mita berdiri menghindari pelukanku. Panas juga kupingku mendengar kak Mita merendahkan Mas Darman. Nampaknya usahaku untuk menjadikan Kak Mita pendukung cintaku tidak berhasil.
“Dia bukan cuma tukang bakso, kak. Dia tukang bakso yang soleh.”
“Adikku yang manis .. dengar sini baik-baik, ya. Pikirkan dulu dong masak-masak. Kamu yakin si Darman itu bisa membahagiakan kamu dan mencukupi keperluan kamu?”
“Kalau membahagiakan Yes, aku yakin. Tapi kalau mencukupi keperluan, bukankah keperluan kita selama ini Allah yang memberi, kak?”
“Yuli, menjalani kehidupan rumah tangga itu sangat sulit. Tidak bisa kita terus hidup hanya dengan setumpuk cinta di dada. Emangnya makanan pokok kamu cinta, apa?”
“Cinta memang tidak bisa dimakan, kak. Yang bisa dimakan itu nasi. Tapi makan nasi di depan orang yang tidak kita cintai juga pasti tidak enak kan kak.”
Kak Mita benar-benar tidak mengerti lagi bagaimana menghadapiku. Dia bilang sejak aku sering liqo’ pemikiranku jadi aneh dan tidak karuan. Aku bilang justru sekarang aku merasa bahagia karena akibat liqo’ kini aku bersikap, berpikir dan bertindak hanya menurut kehendak Allah saja.
Keluargaku menyadari kekerasan hatiku dalam masalah pilihan hidup. Mereka merasa tidak akan pernah bisa mengalahkanku. Papa takut juga ketika kuancam bahwa dosa cinta kami akan Papa tanggung jika kami dihalangi menikah.
Padahal, aku cuma nakut-nakuti doang. Tapi ‘gerilyaku’ berikut ancaman itu membuahkan hasil. Papa akhirnya setuju untuk menerima kedatangan keluarga Mas Darman ke rumah kami.
Mas Darman memberanikan diri ke rumah ditemani Ibunya yang baru datang dari kampung. Papa hanya menahan nafas melihat buah tangan yang dibawa keluarga Mas Darman; sekarung bawang merah dari Brebes. Sementara Mama tidak memperlihatkan mukanya sampai Mas Darman dan ibunya pulang.
Dua bulan kemudian kami pun resmi menikah. Pernikahan kami berlangsung secara sederhana sekali. Mas Darman cuma bisa ngasih satu setengah juta rupiah. Maka setelah Ijab Kabul, kami cuma mengadakan doa selamat dengan mengundang tetangga dan keluarga terdekat saja.
Seusai acara Papa mengajakku berbicara empat mata.
“Yuli, sekarang kamu telah menetapkan kehidupan kamu sendiri. Berbaktilah kepada suamimu dengan sepenuh hati. Tanggung jawab menafkahimu kini beralih kepada suamimu. Papa tidak boleh terlalu mencampuri urusan keluargamu. Tapi nak, ini ada uang tiga puluh juta. Memang dari dulu Papa sengaja nabung untuk keperluan kamu setelah menikah. Gunakanlah uang ini sebaik-baiknya.”
Aku terharu menyadari betapa sayangnya Papa padaku. Aku menerima uang itu dengan tangan bergetar. Uang dari papa itu kami gunakan untuk membeli sebuah rumah petak kecil di kawasan perkampungan. Sisanya dipakai Mas Darman untuk modal jualan bakso.
Berkat ketekunannya usaha Bakso Mas Darman cukup maju. Mulai dari berjualan bakso dengan gerobak dorong Mas Darman menapak selangkah demi selangkah sampai akhirnya mampu menyewa sebuah tempat untuk warung bakso. Kami menamakannya warung bakso ‘Tawakal’, sesuai dengan prinsip hidup Mas Darman.
Pelanggan warung bakso Tawakal bertambah hari demi hari. Disamping bakso Tawakal enak dan ngegres, Mas Darman juga sangat ramah kepada pelanggan.
Ketika usaha bakso itulah kami dianugerahi Allah tiga orang anak-anak yang lucu. Rasanya sempurna sudah kebahagiaan yang kurasakan bersama Mas Darman.
Namun benar kata Nabi Muhammad saw; jika Allah sayang kepada seseorang maka Dia akan mengujinya. Ujian yang kami terima di tengah sepoi angin kebahagiaan itu tidak tanggung-tanggung. Warung Bakso Tawakal dituduh telah mencampuri baksonya dengan daging tikus! Ya Allah .Ya Gusti. Alangkah jahatnya fitnah itu.
Aku sendiri sempat membaca selebaran fitnah itu yang katanya juga disebarkan melalui milis internet. Di situ tertulis pengalaman seorang bekas pelanggan bakso Tawakal yang mengaku melihat sendiri kepala-kepala tikus saat kebetulan numpang pipis ke belakang.
MasyaAllah! Keji betul fitnah itu. Mana mungkin Mas Darman yang setiap pagi azan Subuh di masjid mencampuri daging baksonya dengan daging tikus!
Dampak fitnah yang keji itu sungguh luar biasa. Warung Bakso Tawakal yang tadinya bisa menjual minimal tiga puluh mangkok sehari turun drastis. Untuk dapat lima mangkok sehari saja susahnya bukan main. Sampai akhirnya Mas Darman mengover kreditkan sewa warung ke orang lain. Usaha warung bakso kami resmi gulung tikar.
Seperti biasanya Mas Darman tetap senyum dan optimistis. Sisa uang yang ada dibelikan gerobak dan mulailah ia kembali mendorong baksonya keliling kampung.
Sayang ternyata citra buruk itu tidak hanya melekat ke warung bakso Tawakal yang sekarang sudah ‘almarhum’. Bagaikan bayang-bayang badan, fitnah itu tetap menyertai Mas Darman ke manapun ia pergi. Alih-alih mendapat untung, gerobak bakso yang didorong Mas Darman keliling kampung malah menjadikan mulut orang gatal.
Fitnah itu kian kuat tersebar. Bahkan pernah ada seseorang yang dulunya penggemar Bakso Mas Darman meludah jijik di depan gerobak. Saat itulah hati Mas Darman benar-benar pedih. Hari itu juga ia memutuskan untuk berhenti jualan bakso dan menjual gerobak dorongnya ke orang lain.
Mulailah kami menghitung hari dengan sisa uang yang ada. Keran pengeluaran kuperketat habis-habisan. Pengeluaran hanya untuk makan dan tidak ada pengeluaran untuk yang lain.
Meskipun tetap mengumbar senyum manisnya kepadaku, Mas Darman sering juga tertekan memikirkan pekerjaan apa yang dapat dilakukannya untuk tetap menghidupkan dapur keluarga. Aku sering menemaninya berdiskusi tentang mata pencaharian baru.
“Pekerjaan yang Abi tahu dari dulu Cuma jualan bakso, Umi.”
“Abi kan bisa jualan lain, seperti gorengan misalnya, atau ketoprak?”, kataku.
“Umi benar. Tetapi untuk jualan makanan rasanya masyarakat sudah tidak bisa lagi mempercayai Abi. Biarlah Abi coba cara lain.”
“Cara lain seperti apa?”, tanyaku.
“Begini, dulu di Brebes Abi sering bantuin petani bawang merah di kebun. Jadi Abi cobalah membawa cangkul kita ini untuk mencari nafkah. Kebetulan di ujung jalan depan suka ada truk yang berhenti mencari kuli cangkul.”
“Kuli cangkul? Apa nggak ada pekerjaan lain, Abi?”
“Ya, buat saat ini rasanya hanya itu yang rasional. Persediaan beras kita juga sudah semakin tipis, kan?”
Ucapan Mas Darman bahwa sewaktu di Brebes dia biasa nyangkul, tidak sepenuhnya bisa kupercaya. Setahuku dia itu anak sekolahan yang drop out karena kekurangan biaya dan akhirnya memberanikan diri merantau ke Jakarta. Aku tidak yakin badannya tahan dipakai untuk nyangkul.
Ternyata kecurigaanku benar. Sore harinya Mas Darman pulang dengan badan keletihan dan telapak tangan mengelupas. Aku hanya bisa menangis sambil memijiti tubuhnya dan melumuri tangannya yang melepuh dengan tumbukan daun keladi dicampur putih telur.
Dalam kepedihan itu, Mas Darman masih mengajakku untuk beryukur kepada Allah. Memang Allah telah menebarkan dalam dirinya kekayaan hati. Justru ketabahan dan kepasrahan Mas Darman sering menjadikan tangisku berhenti.
*******
“Umi, mana makannya. Zakia lapar.”. Suara Zakia tidak lagi sekeras tadi. Matanya yang kuyu memandangiku dengan setengah keyakinan. Justru adik-adiknya yang kini malah menangis tak henti-hentinya. Yamin kelaparan dan Dafa menangis karena tidak mendapatkan apa-apa pada puting susuku.
Kugagahkan langkah menuju dapur. Tidak ada apa-apa lagi di sana kecuali beberapa sendok tepung gandum. Kutatapi gandum putih yang saat ini nilainya sama dengan nyawa anak-anakku.
Ya Allah.. berat benar bahasa cinta-Mu kepada kami. Jadikanlah kami orang-orang yang memahami embun-embun cinta yang Kau nyatakan dalam bahasa lapar ini.
Sebenarnya tiga sendok gandum itu kusediakan untuk Mas Darman. Entah mengapa aku tidak yakin hari ini ia berhasil dapat kerjaan. Tapi keluhan anak-anakku benar-benar hampir memutuskan tali jantungku. Maka kurebuslah tiga sendok gandum itu dengan air sumur dan sedikit garam dapur.
Hanya bubur gandum yang cair itu saja yang dapat kuhidangkan untuk mereka. Tanganku menyuapi mereka dengan setengah gemetar menahan lapar. Mulut mereka menerimanya dengan lemah dan mata yang kuyu. Belum sampai ke suapan terakhir ketiga-tiganya telah berbaring keletihan dan tertidur.
Kuseret langkah ke kamar mandi. Kubasahi wajah dengan air wudhuk. Aku tidak sabar untuk merintihkan semua luka ini kepada Yang Maha Pencipta. Akupun terbenam khusyuk dalam sujud-sujud yang panjang.
Setelah salam, kuangkat tangan tinggi-tinggi dan kurintihkan sederet doa agar Allah segera meringankan kami sekeluarga dari penderitaan ini. Semoga doaku tidak terhalang oleh bunyi hujan yang masih turun dengan derasnya. Keletihan membuat badanku terkulai dan tertidur di atas sajadah.
*********
Aku tersentak bangun. Rupanya hujan sudah lama berhenti. Kutatapi jarum jam tua yang hampir mendekati angka sebelas. Mengapa Mas Darman belum pulang juga? Hatiku bertambah risau dan cemas. Apa yang menimpanya hari ini? Oh.. ya Allah aku jadi sangat merinduinya. Detik-detik terasa kian menyiksa dalam menanti kepulangannya.
Alhamdulillah tidak berapa lama kemudian kudengar suaranya mengetuk pintu.
“Umi, Umi..buka pintu sayang.” Akupun bergegas membuka pintu. Mas Darman berdiri di pintu dengan senyuman yang manis. Hah.. Subhanallah ada bau masakan yang sangat menggoda perut laparku dalam bungkusan yang dibawanya.
“Nah Umi pasti belum makan, kan? Ayo sekalian bangunkan anak-anak. Ini Abi bawakan dua bungkus sate padang dan dua bungkus serabi manis. Pas seperti Manna dan Salwa hidangan Allah untuk mereka yang soleh.”
“Subhanallah, dari mana Abi dapat uang membelinya?”
“Makan dulu sayangku. Nanti Abi ceritakan. InsyaAllah yang ini Halalan Toyyiban.”
Maka anak-anakpun aku bangunkan. Mereka juga rindu dengan Abinya. Mas Darman memeluk mereka dalam canda yang ceria. Setiap pulang Mas Darman membawa kebahagiaan dalam hati anak-anak kami. Kami pun menikmati makanan itu dengan lahapnya. Aku bahagia sekali melihat mata anak-anakku berbinar-binar menikmati kue serabi yang manis.
“Enak ya, Umi. Terima kasih ya Abi sudah belikan Zakia serabi.” Zakia berbicara dengan mulut penuh dengan makanan.
“Ya sayang. Zakia harus rajin berdoa ya agar Allah terus menerus memberi kita rezeki seperti ini.”
“Baik Abi. Umi juga sudah ngajarin Zakia cara berdoanya.”
*************
Malam itu aku berbaring di atas lengan Mas Darman. Kucubiti perutnya supaya dia menceritakan kepadaku asal usul makanan itu. Sebab dari tadi dia cuma bilang dari Allah..dari Allah…
“Tentu saja semuanya dari Allah, Abi. Tapi tentu ada sebabnya?” kataku.
“Ya, ya..baik ndoro puteri. Begini ceritanya ..Dari pagi tadi Abi sudah setengah putus asa menunggu truk-truk pasir itu. Ada beberapa yang lewat tapi tidak mau mengambil Abi. Alasannya sekarang mereka sudah punya pekerja tetap di pool pasir.
Akhirnya menjelang sore Abi bawa kaki melangkah ke mana saja ia ingin melangkah. Menjelang sholat Ashar Abi menyahut panggilan azan dari sebuah masjid dalam kompleks perumahan.
Abi kenyangkan perut dengan air keran supaya jangan ingat makanan ketika sholat. Duh..segar benar rasanya. Kemudian Abi pun ikut sholat berjamaah. Setelah sholat ada seorang jamaah masjid yang bertanya.
“Mas bawa-bawa cangkul mau kemana?”
“Saya mau cari kerjaan, Pak. Apa saja.”
“Bisa membersihkan dan merapikan taman?”
“InsyaAllah bisa, Pak.”
Maka Abipun ikut bapak itu ke rumahnya untuk membersihkan taman. Menjelang Maghrib pekerjaan itu selesai. Bapak itu memberikan uang cukup banyak, Mi. Lima puluh ribu! Nah, sebelum pergi, Abi melihat bapak itu meringis memegangi punggungnya. Rupanya bapak itu mengalami sakit punggung. Abi tawarkan kepadanya untuk diurut.”
“Memangnya Abi bisa ngurut?” Aku menyela dengan sebuah pertanyaan.
“Ya itulah salah satu kemahiran Abi yang agak ajaib. Sebenarnya Abi tidak pernah belajar mengurut. Tapi Ibu bilang urutan Abi enak dan menyehatkan. Maka banyak juga dikampung orang yang minta diurut sama Abi.
Nah, Umi rupanya urutan Abi juga mengena ke urat bapak ini. Dia merasa enak dan lega setelah diurut sama Abi. Umi tahu apa yang terjadi? Subhanallah, dia mengeluarkan lagi uang lima puluh ribu!”
Aku memandang mata Mas Darman dengan penuh haru. Kulihat ada secercah harapan pada bola matanya. Kami berdua berpelukan bahagia sambil terus menggumamkan pujian kepada Allah.
“Ya Allah betapa besar syukur kami kepadaMu. Engkau bawa kami ke puncak cobaan, agar dapat lebih mensyukuri sedikit rezki yang Engkau teteskan hari ini. Kami sangat memahami ya Allah, bahwa Engkau masih tetap sayang kepada kami.”
Semoga rintihan doa kami berdua dapat terus mi’raj menembus langit menuju pangkuan Ilahi, dan tidak lagi terbenam dalam deru hujan yang kembali turun dengan derasnya.
Wallahu a'lam bishshawab, ..
… Semoga tulisan ini dapat membuka pintu hati kita yang telah lama terkunci …
Hujan kian deras mengguyur bumi. Sesekali aku harus memeluk Dafa yang masih bayi ketika suara guruh menggedor-gedor pintu langit dengan kerasnya.
Aku memandang sayu ke arah anak-anakku yang tertidur di atas tikar pandan. Duhai.. alangkah indah dan sucinya wajah mereka. Kutatapi wajah mereka satu persatu dengan nikmatnya. Demikiankah wajah bidadari kecil dari syurga Allah?
Sejenak aku terlupa betapa seperempat jam yang lalu ketiga bidadariku itu menangis karena lapar yang tidak tertahankan. Zakia yang paling besar menangis dengan keras sekali sambil menghentak-hentakkan kaki.
“Zakia lapar, Umi. Lapaar..mana nasinya?” Sementara Yamin yang masih tiga tahun hanya bisa merengek-rengek panjang dengan kosa kata yang terbatas, “Umi, mo mamam, Umi.”
Kutatapi segenggam beras yang masih tersisa. Subhanallah..teringat aku kepada Mas Darman, Abinya anak-anak. Tadi pagi ia berangkat tanpa sarapan apapun kecuali segelas air sumur yang kumasak dengan kayu api. Bagaimana kalau hari ini Abi tidak berhasil membawa seliter beraspun seperti kemarin.
Abi cuma kuli upahan yang membawa cangkul ke mana-mana. Syukur sekali jika ada truk yang menawarkan kerjaan menurunkan pasir atau mengisi tanah merah. Dari kerja ikut truk biasanya Abi bisa dapat uang delapan ribu rupiah. Alhamdulillah cukup untuk beli beras dua tiga liter.
Kemarin Abi juga hanya sarapan segelas air sumur. Kuselipkan di saku celananya yang lusuh uang seribu rupiah. Malam harinya Abi pulang dengan seulas senyum kepasrahan.
“Dapat kerjaan tadi, Bi?”
“Alhamdulillah, belum, Mi.”
“Tadi siang sempat makan, nggak?”
“Umi kan ngasih uang seribu rupiah. Abi belikan roti tujuh ratus rupiah. Nih sisanya masih tiga ratus.”
“Memang masih ada roti harga tujuh ratus?”
“Ada, tapi kayaknya harga aslinya seribuan deh. Mungkin Mas Budi ngasih diskon ke Abi.”.
Abi tersenyum manis kepadaku sambil menyerahkan sisa uang tiga ratus ke tanganku. Laa hawla walaa quwwata illa billaah. Berarti hari ini Abi cuma makan sepotong roti tujuh ratusan. Dan itu juga berarti besok tidak bisa beli beras.
Kuamati sisa beras yang cuma tinggal dua genggam lagi dan tiga keping uang logam seratusan di telapak tanganku yang diam membisu.
Pagi itu aku tidak tega membiarkan Abi memanggul cangkulnya dengan perut berisi air sumur. Kutanak beras segenggam dengan air yang agak banjir dan kucampur dengan beberapa sendok tepung gandum. Rasanya? Aduh..jangan tanya deh. Yang penting ada kalori yang mengisi badan suamiku. Kasihan..sudah dua hari perutnya tidak diisi apa-apa.
“Umi, biar saja nasi itu buat anak-anak kita.” Kata suamiku.
Aku tersenyum manis kepadanya dengan meredam seluruh kesedihan dan kecemasanku di hari itu. “Nggak, yang ini untuk Abi. Nanti buat anak-anak Umi siapkan pisang rebus”.
Dalam hati aku bergumam, pisang rebus dari mana? Pisang mentah yang dibawah Mas Darman kemarin sudah habis dimakan anak-anak. Namun setidaknya bujukanku berhasil. Mas Darman mau memakan sarapan nasi campur tepung gandum itu.
Pagi itu aku tidak memberikan sarapan kepada anak. Kurebus saja air campur sedikit gula jawa yang masih tersisa. Kuberikan semuanya kepada mereka. Aku cuma membasahi tenggorokan dengan seteguk air.
Tetapi jam sepuluh pagi anak-anakku yang sedang dalam masa pertumbuhan itu mulai merengek-rengek minta makan. Mereka bahkan secara dramatis menguji kesabaranku dengan menunjuk-nunjuk tukang bubur dan ketupat tahu yang lewat di depan rumah petak kami.
Padahal tidak pernah sekalipun aku menyuapi mereka dengan makanan semewah itu. Ya Allah ..mungkin rasa lapar yang mendesak mereka bersikap secara natural seperti itu.
Kubujuk mereka dengan kepandaianku bercerita. Mereka suka mendengar ceritaku sehingga tersenyum-senyum gembira. Untuk beberapa saat rasa lapar dapat kami lupakan..
Namun setelah sholat Zuhur mereka kembali menyuarakan pesan yang dihembuskan dari lambung-lambung yang kosong. Kutatap segenggam beras terakhir yang menjadi tapal batas pertahanan terakhirku.
Kumasak segenggam beras menjadi bubur yang sangat cair. Kububuhkan sedikit garam ke dalamnya Anak-anakku makan dengan lahap sekali. Nafas mereka mendengus-dengus saking lahapnya.
Sayang mereka harus menggigit jari saat meminta tambahan. Bubur itu sudah habis. Kubawa panci itu kebelakang dan kusapu sisa bubur itu dengan jari-jariku. Kemudian akupun kembali mengisi kekosongan perut dengan air sumur yang dingin.
Anak-anakku tertidur pulas. Melihat wajah mereka saat tidur merupakan salah satu hiburan yang mewah bagi jiwaku yang sedang kalut dan cemas. Mudah-mudahan Mas Darman cepat pulang dan membawa sedikit beras untuk makanan mereka.
***********
Awal menikah dengan Mas Darman yang sekarang menjadi ayah anak-anakku, masalah ini tidak pernah terjadi. Dulu semua orang termasuk diriku sendiri heran bin ajaib, mengapa anak seorang tentara seperti aku kok jatuh cinta dengan Darman yang cuma tukang bakso.
Dilihat dari tampang memang tidak ada seorangpun yang dapat menafikan kegantengannya. Tapi suer ..aku naksir dia bukan karena kegantengannya.
“Melangkah ke jenjang rumah tangga itu tidak cukup hanya dengan berbekal cinta.” Papa menegurku dengan bahasa yang klise.
“Pokoknya Mama cuma mau kamu nikah sama Gunawan yang calon dokter itu. Lain orang Mama tidak setuju”. Mama menyebut-nyebut lagi nama Mas Gunawan. Padahal semua orang tahu dia sudah punya pacar. Apa belum ada yang bilang ke Mama.
Berhari-hari mereka membujukku dengan berbagai cara. Akhirnya mereka meminta kak Mita, kakakku yang sudah menikah untuk membujukku. Hmm..Kak Mita sangat sayang padaku dan pasti akan senantiasa membelaku. Kesempatan itu justru akan kugunakan untuk balik membujuk kak Mita.
“Yuli sayang..bagaimana sih ceritanya kok kamu bisa kecantol sama Mas Darman?”
“Hmm..Tepatnya aku sendiri tidak tahu, kak. Tapi aku merasa terpesona dengan keindahan suaranya ketika mengumandangkan azan Subuh. Tentang ini Papa juga setuju lho sama aku”.
“Terus..”
“Suatu hari aku memberhentikan gerobak baksonya. Aku beli semangkok bakso sambil mengucapkan terima kasih karena telah membangunkanku setiap Subuh.”
“Terus..”
“Dia cuma menjawab, Ya sambil terus menundukkan pandangan. Semua pertanyaanku dijawabnya singkat tanpa berani menatap mataku. Melihat sikapnya yang sopan itu hatiku jadi berbunga-bunga. Kayaknya di situlah hatiku mulai tersangkut, kak Mitaku sayang.”
“Terus..”
“Ya..sejak hari itu akupun bergerilya untuk menawan hatinya. Alhamdulillah, dia akhirnya mengirim sepucuk surat kepadaku.”
“Tapi Ya Allah, Yuli..dia kan cuma tukang bakso. Gerobak aja masih belum punya sendiri. Asal-usulnya dari Brebes juga nggak jelas.” Kak Mita berdiri menghindari pelukanku. Panas juga kupingku mendengar kak Mita merendahkan Mas Darman. Nampaknya usahaku untuk menjadikan Kak Mita pendukung cintaku tidak berhasil.
“Dia bukan cuma tukang bakso, kak. Dia tukang bakso yang soleh.”
“Adikku yang manis .. dengar sini baik-baik, ya. Pikirkan dulu dong masak-masak. Kamu yakin si Darman itu bisa membahagiakan kamu dan mencukupi keperluan kamu?”
“Kalau membahagiakan Yes, aku yakin. Tapi kalau mencukupi keperluan, bukankah keperluan kita selama ini Allah yang memberi, kak?”
“Yuli, menjalani kehidupan rumah tangga itu sangat sulit. Tidak bisa kita terus hidup hanya dengan setumpuk cinta di dada. Emangnya makanan pokok kamu cinta, apa?”
“Cinta memang tidak bisa dimakan, kak. Yang bisa dimakan itu nasi. Tapi makan nasi di depan orang yang tidak kita cintai juga pasti tidak enak kan kak.”
Kak Mita benar-benar tidak mengerti lagi bagaimana menghadapiku. Dia bilang sejak aku sering liqo’ pemikiranku jadi aneh dan tidak karuan. Aku bilang justru sekarang aku merasa bahagia karena akibat liqo’ kini aku bersikap, berpikir dan bertindak hanya menurut kehendak Allah saja.
Keluargaku menyadari kekerasan hatiku dalam masalah pilihan hidup. Mereka merasa tidak akan pernah bisa mengalahkanku. Papa takut juga ketika kuancam bahwa dosa cinta kami akan Papa tanggung jika kami dihalangi menikah.
Padahal, aku cuma nakut-nakuti doang. Tapi ‘gerilyaku’ berikut ancaman itu membuahkan hasil. Papa akhirnya setuju untuk menerima kedatangan keluarga Mas Darman ke rumah kami.
Mas Darman memberanikan diri ke rumah ditemani Ibunya yang baru datang dari kampung. Papa hanya menahan nafas melihat buah tangan yang dibawa keluarga Mas Darman; sekarung bawang merah dari Brebes. Sementara Mama tidak memperlihatkan mukanya sampai Mas Darman dan ibunya pulang.
Dua bulan kemudian kami pun resmi menikah. Pernikahan kami berlangsung secara sederhana sekali. Mas Darman cuma bisa ngasih satu setengah juta rupiah. Maka setelah Ijab Kabul, kami cuma mengadakan doa selamat dengan mengundang tetangga dan keluarga terdekat saja.
Seusai acara Papa mengajakku berbicara empat mata.
“Yuli, sekarang kamu telah menetapkan kehidupan kamu sendiri. Berbaktilah kepada suamimu dengan sepenuh hati. Tanggung jawab menafkahimu kini beralih kepada suamimu. Papa tidak boleh terlalu mencampuri urusan keluargamu. Tapi nak, ini ada uang tiga puluh juta. Memang dari dulu Papa sengaja nabung untuk keperluan kamu setelah menikah. Gunakanlah uang ini sebaik-baiknya.”
Aku terharu menyadari betapa sayangnya Papa padaku. Aku menerima uang itu dengan tangan bergetar. Uang dari papa itu kami gunakan untuk membeli sebuah rumah petak kecil di kawasan perkampungan. Sisanya dipakai Mas Darman untuk modal jualan bakso.
Berkat ketekunannya usaha Bakso Mas Darman cukup maju. Mulai dari berjualan bakso dengan gerobak dorong Mas Darman menapak selangkah demi selangkah sampai akhirnya mampu menyewa sebuah tempat untuk warung bakso. Kami menamakannya warung bakso ‘Tawakal’, sesuai dengan prinsip hidup Mas Darman.
Pelanggan warung bakso Tawakal bertambah hari demi hari. Disamping bakso Tawakal enak dan ngegres, Mas Darman juga sangat ramah kepada pelanggan.
Ketika usaha bakso itulah kami dianugerahi Allah tiga orang anak-anak yang lucu. Rasanya sempurna sudah kebahagiaan yang kurasakan bersama Mas Darman.
Namun benar kata Nabi Muhammad saw; jika Allah sayang kepada seseorang maka Dia akan mengujinya. Ujian yang kami terima di tengah sepoi angin kebahagiaan itu tidak tanggung-tanggung. Warung Bakso Tawakal dituduh telah mencampuri baksonya dengan daging tikus! Ya Allah .Ya Gusti. Alangkah jahatnya fitnah itu.
Aku sendiri sempat membaca selebaran fitnah itu yang katanya juga disebarkan melalui milis internet. Di situ tertulis pengalaman seorang bekas pelanggan bakso Tawakal yang mengaku melihat sendiri kepala-kepala tikus saat kebetulan numpang pipis ke belakang.
MasyaAllah! Keji betul fitnah itu. Mana mungkin Mas Darman yang setiap pagi azan Subuh di masjid mencampuri daging baksonya dengan daging tikus!
Dampak fitnah yang keji itu sungguh luar biasa. Warung Bakso Tawakal yang tadinya bisa menjual minimal tiga puluh mangkok sehari turun drastis. Untuk dapat lima mangkok sehari saja susahnya bukan main. Sampai akhirnya Mas Darman mengover kreditkan sewa warung ke orang lain. Usaha warung bakso kami resmi gulung tikar.
Seperti biasanya Mas Darman tetap senyum dan optimistis. Sisa uang yang ada dibelikan gerobak dan mulailah ia kembali mendorong baksonya keliling kampung.
Sayang ternyata citra buruk itu tidak hanya melekat ke warung bakso Tawakal yang sekarang sudah ‘almarhum’. Bagaikan bayang-bayang badan, fitnah itu tetap menyertai Mas Darman ke manapun ia pergi. Alih-alih mendapat untung, gerobak bakso yang didorong Mas Darman keliling kampung malah menjadikan mulut orang gatal.
Fitnah itu kian kuat tersebar. Bahkan pernah ada seseorang yang dulunya penggemar Bakso Mas Darman meludah jijik di depan gerobak. Saat itulah hati Mas Darman benar-benar pedih. Hari itu juga ia memutuskan untuk berhenti jualan bakso dan menjual gerobak dorongnya ke orang lain.
Mulailah kami menghitung hari dengan sisa uang yang ada. Keran pengeluaran kuperketat habis-habisan. Pengeluaran hanya untuk makan dan tidak ada pengeluaran untuk yang lain.
Meskipun tetap mengumbar senyum manisnya kepadaku, Mas Darman sering juga tertekan memikirkan pekerjaan apa yang dapat dilakukannya untuk tetap menghidupkan dapur keluarga. Aku sering menemaninya berdiskusi tentang mata pencaharian baru.
“Pekerjaan yang Abi tahu dari dulu Cuma jualan bakso, Umi.”
“Abi kan bisa jualan lain, seperti gorengan misalnya, atau ketoprak?”, kataku.
“Umi benar. Tetapi untuk jualan makanan rasanya masyarakat sudah tidak bisa lagi mempercayai Abi. Biarlah Abi coba cara lain.”
“Cara lain seperti apa?”, tanyaku.
“Begini, dulu di Brebes Abi sering bantuin petani bawang merah di kebun. Jadi Abi cobalah membawa cangkul kita ini untuk mencari nafkah. Kebetulan di ujung jalan depan suka ada truk yang berhenti mencari kuli cangkul.”
“Kuli cangkul? Apa nggak ada pekerjaan lain, Abi?”
“Ya, buat saat ini rasanya hanya itu yang rasional. Persediaan beras kita juga sudah semakin tipis, kan?”
Ucapan Mas Darman bahwa sewaktu di Brebes dia biasa nyangkul, tidak sepenuhnya bisa kupercaya. Setahuku dia itu anak sekolahan yang drop out karena kekurangan biaya dan akhirnya memberanikan diri merantau ke Jakarta. Aku tidak yakin badannya tahan dipakai untuk nyangkul.
Ternyata kecurigaanku benar. Sore harinya Mas Darman pulang dengan badan keletihan dan telapak tangan mengelupas. Aku hanya bisa menangis sambil memijiti tubuhnya dan melumuri tangannya yang melepuh dengan tumbukan daun keladi dicampur putih telur.
Dalam kepedihan itu, Mas Darman masih mengajakku untuk beryukur kepada Allah. Memang Allah telah menebarkan dalam dirinya kekayaan hati. Justru ketabahan dan kepasrahan Mas Darman sering menjadikan tangisku berhenti.
*******
“Umi, mana makannya. Zakia lapar.”. Suara Zakia tidak lagi sekeras tadi. Matanya yang kuyu memandangiku dengan setengah keyakinan. Justru adik-adiknya yang kini malah menangis tak henti-hentinya. Yamin kelaparan dan Dafa menangis karena tidak mendapatkan apa-apa pada puting susuku.
Kugagahkan langkah menuju dapur. Tidak ada apa-apa lagi di sana kecuali beberapa sendok tepung gandum. Kutatapi gandum putih yang saat ini nilainya sama dengan nyawa anak-anakku.
Ya Allah.. berat benar bahasa cinta-Mu kepada kami. Jadikanlah kami orang-orang yang memahami embun-embun cinta yang Kau nyatakan dalam bahasa lapar ini.
Sebenarnya tiga sendok gandum itu kusediakan untuk Mas Darman. Entah mengapa aku tidak yakin hari ini ia berhasil dapat kerjaan. Tapi keluhan anak-anakku benar-benar hampir memutuskan tali jantungku. Maka kurebuslah tiga sendok gandum itu dengan air sumur dan sedikit garam dapur.
Hanya bubur gandum yang cair itu saja yang dapat kuhidangkan untuk mereka. Tanganku menyuapi mereka dengan setengah gemetar menahan lapar. Mulut mereka menerimanya dengan lemah dan mata yang kuyu. Belum sampai ke suapan terakhir ketiga-tiganya telah berbaring keletihan dan tertidur.
Kuseret langkah ke kamar mandi. Kubasahi wajah dengan air wudhuk. Aku tidak sabar untuk merintihkan semua luka ini kepada Yang Maha Pencipta. Akupun terbenam khusyuk dalam sujud-sujud yang panjang.
Setelah salam, kuangkat tangan tinggi-tinggi dan kurintihkan sederet doa agar Allah segera meringankan kami sekeluarga dari penderitaan ini. Semoga doaku tidak terhalang oleh bunyi hujan yang masih turun dengan derasnya. Keletihan membuat badanku terkulai dan tertidur di atas sajadah.
*********
Aku tersentak bangun. Rupanya hujan sudah lama berhenti. Kutatapi jarum jam tua yang hampir mendekati angka sebelas. Mengapa Mas Darman belum pulang juga? Hatiku bertambah risau dan cemas. Apa yang menimpanya hari ini? Oh.. ya Allah aku jadi sangat merinduinya. Detik-detik terasa kian menyiksa dalam menanti kepulangannya.
Alhamdulillah tidak berapa lama kemudian kudengar suaranya mengetuk pintu.
“Umi, Umi..buka pintu sayang.” Akupun bergegas membuka pintu. Mas Darman berdiri di pintu dengan senyuman yang manis. Hah.. Subhanallah ada bau masakan yang sangat menggoda perut laparku dalam bungkusan yang dibawanya.
“Nah Umi pasti belum makan, kan? Ayo sekalian bangunkan anak-anak. Ini Abi bawakan dua bungkus sate padang dan dua bungkus serabi manis. Pas seperti Manna dan Salwa hidangan Allah untuk mereka yang soleh.”
“Subhanallah, dari mana Abi dapat uang membelinya?”
“Makan dulu sayangku. Nanti Abi ceritakan. InsyaAllah yang ini Halalan Toyyiban.”
Maka anak-anakpun aku bangunkan. Mereka juga rindu dengan Abinya. Mas Darman memeluk mereka dalam canda yang ceria. Setiap pulang Mas Darman membawa kebahagiaan dalam hati anak-anak kami. Kami pun menikmati makanan itu dengan lahapnya. Aku bahagia sekali melihat mata anak-anakku berbinar-binar menikmati kue serabi yang manis.
“Enak ya, Umi. Terima kasih ya Abi sudah belikan Zakia serabi.” Zakia berbicara dengan mulut penuh dengan makanan.
“Ya sayang. Zakia harus rajin berdoa ya agar Allah terus menerus memberi kita rezeki seperti ini.”
“Baik Abi. Umi juga sudah ngajarin Zakia cara berdoanya.”
*************
Malam itu aku berbaring di atas lengan Mas Darman. Kucubiti perutnya supaya dia menceritakan kepadaku asal usul makanan itu. Sebab dari tadi dia cuma bilang dari Allah..dari Allah…
“Tentu saja semuanya dari Allah, Abi. Tapi tentu ada sebabnya?” kataku.
“Ya, ya..baik ndoro puteri. Begini ceritanya ..Dari pagi tadi Abi sudah setengah putus asa menunggu truk-truk pasir itu. Ada beberapa yang lewat tapi tidak mau mengambil Abi. Alasannya sekarang mereka sudah punya pekerja tetap di pool pasir.
Akhirnya menjelang sore Abi bawa kaki melangkah ke mana saja ia ingin melangkah. Menjelang sholat Ashar Abi menyahut panggilan azan dari sebuah masjid dalam kompleks perumahan.
Abi kenyangkan perut dengan air keran supaya jangan ingat makanan ketika sholat. Duh..segar benar rasanya. Kemudian Abi pun ikut sholat berjamaah. Setelah sholat ada seorang jamaah masjid yang bertanya.
“Mas bawa-bawa cangkul mau kemana?”
“Saya mau cari kerjaan, Pak. Apa saja.”
“Bisa membersihkan dan merapikan taman?”
“InsyaAllah bisa, Pak.”
Maka Abipun ikut bapak itu ke rumahnya untuk membersihkan taman. Menjelang Maghrib pekerjaan itu selesai. Bapak itu memberikan uang cukup banyak, Mi. Lima puluh ribu! Nah, sebelum pergi, Abi melihat bapak itu meringis memegangi punggungnya. Rupanya bapak itu mengalami sakit punggung. Abi tawarkan kepadanya untuk diurut.”
“Memangnya Abi bisa ngurut?” Aku menyela dengan sebuah pertanyaan.
“Ya itulah salah satu kemahiran Abi yang agak ajaib. Sebenarnya Abi tidak pernah belajar mengurut. Tapi Ibu bilang urutan Abi enak dan menyehatkan. Maka banyak juga dikampung orang yang minta diurut sama Abi.
Nah, Umi rupanya urutan Abi juga mengena ke urat bapak ini. Dia merasa enak dan lega setelah diurut sama Abi. Umi tahu apa yang terjadi? Subhanallah, dia mengeluarkan lagi uang lima puluh ribu!”
Aku memandang mata Mas Darman dengan penuh haru. Kulihat ada secercah harapan pada bola matanya. Kami berdua berpelukan bahagia sambil terus menggumamkan pujian kepada Allah.
“Ya Allah betapa besar syukur kami kepadaMu. Engkau bawa kami ke puncak cobaan, agar dapat lebih mensyukuri sedikit rezki yang Engkau teteskan hari ini. Kami sangat memahami ya Allah, bahwa Engkau masih tetap sayang kepada kami.”
Semoga rintihan doa kami berdua dapat terus mi’raj menembus langit menuju pangkuan Ilahi, dan tidak lagi terbenam dalam deru hujan yang kembali turun dengan derasnya.
Wallahu a'lam bishshawab, ..
… Semoga tulisan ini dapat membuka pintu hati kita yang telah lama terkunci …
Subscribe to:
Posts (Atom)