Bismillahir-Rahmaanir-Rahim
SUARA orang yang mandi kramas setiap 02.00 pagi di Wisma Rosa Kompleks Warakas -di sana dan bukan di tempat kosku- itu suara istriku bersuci.
Selalu, bahkan berpuluh tahun kemudian seakan mengingatkan semua orang. Meski aku sadar, ada yang diam-diam menganggap itu berlebihan, karena selama ini banyak yang masih menganggap Manu -pelacur- jauh dari fakta sudah jadi istri.
Tapi apakah membunuhnya itu kewajaran hanya karena ada anggapan bahwa si Manu pelacur, dan sebagai pelacur ia tidak berhak menolak ajakan kencan siapa pun selama ada imbalan?
Aku tahu, ada yang beranggapan Manu itu masih siap menjadi pelacur dengan pendekatan yang tepat dan imbalan yang pas.
Mereka mempercayai adagium itu sebagai norma 'tahu sama tahu' (TST) tanpa pernah melakukan refleksi bagaimana kalau anggapan itu merupakan cacat bersikap yang dimurkai ALLAH Subhaanahu wa ta'ala. Sikap suudzan, cara berburuk sangka, yang saat diaplikasikan terbukti membahayakan yang lain.
Dan Manu bukan pelacur, bukan pelacur lagi. Setidak-tidaknya bagiku. Setidak-tidaknya setelah kami bersepakat menikah, meninggalkan Wisma Rosa dan pindah ke kamar kontrakan, di sepanjang hari tinggal di kamar dengan rutin rumah tangga seperti istri tetangga kos lain.
Hidup kami memang tak berkecukupan. Karena aku cuma sopir angkot yang terpaksa berbagi giliran dengan Tahir, kadang kegiliran pagi sampai siang, lain kali kebagian siang sampai sore. Hasilnya dicabik oleh beli bensin, uang setoran, dan bayar calo di terminal bayangan ketika menunggu penumpang.
"Aku tidak akan bisa membahagiakan kamu, Dik," kataku, berselonjor. Manu tersenyum. Dengan sederhana ia bicara tentang kebahagiaan, yang hanya rasa lega bersembahyang tanpa harus menangis dulu karena dihantui dosa.
"Kak, sekarang aku mandi kramas tanpa gemetar, tanpa takut akan dicuci api, dijerang api dan disetrika api di neraka karena mencari uang dari zinah. Aku kini junub dengan riang karena telah menyelesaikan kewajiban istri. Beribadah!’’ katanya.
***
KADANG-KADANG aku berpikir hidup berumah tangga selama 3 bulan ini cuma mimpi, sebuah tirai yang diangkat ketika aku terlelap dan kemudian sandiwara hidup dimainkan dalam impian, dan ketika aku benar-benar terjaga untuk mencucup semua kebahagiaan itu dalam keyakinan itu kurnia ALLAH, maka Manu pun ada yang merenggut dari sisiku.
Dan orang itu adalah Tahir—temanku berbagi rezeki dan bertukar kebutuhan saat kesulitan dengan pengkhianatan yang berselimut pengakuan tak enak badan dan meminta agar aku meneruskan jatah narik.
"Penuhi setorannya!" kata Tahir sambil mengembuskan rokok berlatar ruap alkohol dari lambung, sambil mengambil selembar uang Rp 5.000,- di dashboard. "Aku minta rokok saja."
Aku bungkam. Mengawasinya sempoyongan menjauh. Aku menarik napas lega, barangkali aku bisa membawa pulang Rp 40.000,- dan mengajak Manu makan sangu wuduk Tirohat.
Sebuah impian yang tak pernah kesampaian, yang membuat aku ingin menangis karena selama 3 bulan menikah aku hanya sekali mengajaknya makan di Warung Tirohat. Saat kami baru pulang dari menikah di Karang Lara di orang tuanya Manu, datang dengan tas berisi pakaian dan sekresek oleh-oleh. Meregang di trotoar dan mengajaknya ke Warung Tirohat, menjamunya sebagai pesta nikah, dengan nadar sesekali mengajaknya makan di sana. Sebagai ungkapan syukur telah resmi menikah, Manu tak lagi mencari makan dengan melacur dan aku tak perlu pergi ke pelacur.
Dan aku tidak mengerti, ketika aku sungguh-sungguh mencari penumpang dan berkonsentrasi mencari penumpang, batin sebenarnya gelisah, ada terbersit keinginan pulang berbilang pada Manu: ia ada dalam ancaman maut.
Tapi hari itu penumpang amat bagus dan karenanya aku berpikir selepas maghrib, aku akan mengambil magrib di rumah bos, akan bergegas pulang, mandi dan mengajak Manu ke Warung Tirohat.
Dan tak pernah tahu kalau saat itu Tahir menyelinap ke kamar kos, merayu Manu, dan ketika ditolak ia pitam, di dalam mabuk dan oleh kemabukannya, dan liar menyergap Manu.
Menyobek blus setelah meninju rahang Manu. Merenggut rok, dan ketika Manu menggerinjal dan berteriak, ia kalap menghajar Manu.
Menginjak-nginjak dada, perut dan leher Manu sambil berteriak-teriak: "ublag, ublag, ublag!"
Dan orang sekampung menangkapnya di momen itu, setelah Isti di sebelah berteriak minta tolong kepada para lelaki kampung, setelah Johan, Kleise dan Jisim -anak-anak yang mengintai dari kaca nako- memperkuat laporan Isti.
Massa menyerbu. Massa menghajar Tahir. Tapi Manu sudah tak terselamatkan. Rahangnya pecah, 4 rusuknya patah, dan kerongkongannya memar. Tidak tertolong lagi. Dan polisi yang menemukan aku di jalan, menghentikan mobil dan mengoper penumpang ke angkot lain, dan mengajak aku ke rumah sakit untuk menemukan Manu sudah meninggal.
Sudah sempurna di jalan ALLAH, tak lagi bersusah payah meniti jalan bercela maksiat, meraba-raba ridha-NYA sambil menangis, karena tiap langkahnya diselimuti dosa.
Tapi haruskah ia mati begitu menyedihkan?
Aku tak tahu.
Dokter mengatakan tak terjadi perkosaan meski ada indikasi ke arah itu.
Pak Ustaz di Masjid kampung itu bilang kalau Manu mati syahid membela kehormatan. "Berdoalah, agar dapat keringanan dalam kubur, agar terang alam kuburnya," katanya.
Aku menelan ludah!
***
AKU sendiri yang memandikan Manu. Memangku tubuh telanjang yang hanya 1,53 cm itu di pangkal paha, tangan kiri menahan leher dan tangan kanan menahan kedua tungkai.
Bersabar, bertawakkal, membiarkan ibu-ibu mengguyurkan air dan ikut membasahi tubuh.
Ikut melihat seluruh luka dan memar di tubuhnya. Ikut tersabuni ketika para ibu itu perlahan menyabuni, melekat padaku ketika didudukkan agar bisa dikramasi dan punggung disabuni, lalu kaki, pangkal kaki dan pinggul.
Aku menangis! Aku nanar teringat akan wangi sabun dan sampoo tubuhnya di subuh itu, pada saat aku terjaga, lilir di pembaringan.
Kehilangan! Tersentak ketika melihatnya bersimpuh zikir setelah shalat subuh dengan air mata di seluruh kelopak mata.
Aku tercekat! Mengawasi! Memaknai pelacur yang shalat di lokalisasi pelacuran ini dan jauh di dini hari pasti mandi junub diam-diam.
Menelan ludah! Diam! Menontonnya melipat mukena dan tertib menyimpannya.
Aku termangu, ingat masa kecil di kampung, yang setiap sore diisi dengan mengaji dan shalat berjamaah di masjid kampung. Ke mana semua itu setelah jadi sopir di Jakarta?
Dan dengan berdaster tanpa dalaman ia bersisir, lantas berbalik ke pembaringan, ragu-ragu memberikan lagi tubuh kepada yang mem-booking. Aku mencium wangi sabun dan terutama sampoo dari rambut yang dipotong pendek. Mungkin, terpikir kini, supaya gampang berkramas dan bukan demi mode semata.
"Kau shalat?" tanyaku.
Manu melengos. Lirih bilang, ia tetap shalat karena ia Islam, agar bisa minta ampunan karena ia tidak sreg jadi pelacur.
Mengeluhkan ingin ke luar dari sini ini dan jadi apa saja, agar tidak merasa jijik dengan tubuh yang dirasanya selalu saja menggerutu menyesali pembiaran sehingga dirinya dihidupkan aku dengan berzinah.
"Menikahlah denganku..."
"Hhhmmm..."
"Jadilah kau muhrim-ku. Mari kita tegakkan shalat bersama. Dan..."
"Dan...?"
"Dan jangan berharap memiliki apa-apa, memimpikan kenikmatan hidup, karena aku hanya mengajak menegakkan shalat, sekuatnya melangkahi Shiratal Mustaqim."
Seminggu kemudian kami menikah -siri. Tanpa pesta, tanpa upacara meriah, tanpa basa-basi dan hanya dengan mas kawin berupa mukena. Mukena dan sajadah -sarung plekat- yang akan jadi alat kami akan sungguh-sungguh menegakkan shalat.
Lagi pula apa yang bisa diberikan seorang sopir angkot yang hampir tiap hari paling membawa uang -sisa bensin dan setoran- sekitar Rp 20.000,- dan sering tak sampai Rp 10.000,-. Ihwal yang terkadang membuat aku malu, menitikkan air mata ketika akan memberikannya pada Manu. Tapi Manu cuma tersenyum. Bilang, ada air putih buat minum, ada nasi dengan garam dan cengek, atau krupuk, untuk dimakan.
"Cita-cita kita menegakkan shalat, Kak," katanya.
Dan sekarang, saat ibu-ibu mengucurkan air membersihkan tubuhnya sebelum diwudhukan, aku mendengar suaranya lagi.
***
KADANG-KADANG aku mengunjungi makamnya dan berziarah. Menangis, kini aku kembali sendirian menegakkan shalat dan berpuasa menahan godaan zinah, atau sekadar mabuk.
Sering aku hanya bersuntuk di kamar -masih ke masjid tapi aku lebih sering bertekun di kamar kos-, berzikir dan meminta ampunan bagi dosa-dosa ketika dulu Manu terpaksa menjadi pelacur, saat seluruh batinnya menangis saat ia melacur, terutama seusai melacur, bersuci dan serius mengambil shalat tobat dalam tangis sunyi yang pilu.
"Kini kamu bebas, Manu. Kamu kini telah dibebaskan, Manu," kataku. "Meski jalan dan cara pembebasan itu amat menyakitkan. Terima itu sebagai api suci yang mengembalikanmu ke dalam kefitrian."
Dan aku menangis diam-diam. Menangisi kesempatan bertobatnya Manu yang cuma sebentar itu.
Tapi apa pertobatan itu harus bersifat kekal selamanya atau cukup sebentar saja, tapi dengan kesungguhan?
Tapi kenapa orang tak memberi kesempatan baginya bertobat dan menunjukkan kesungguhannya bertobat?
Ataukah ALLAH Subhaanahu wa ta'ala -lewat orang suudzan itu- telah mengujinya dan ia lulus sebagai yang tak tergoyahkan, dan karena ia syahid dalam keteraniayaannya?
Aku menarik napas. Aku istigfar dan minta agar tidak diuji dengan cobaan yang sulit dan menyakitkan.
Sekaligus berharap mendapat kemudahan dalam mencari nafkah dan membina hidup baru dalam kubah keluarga sakinah.