Bismillahir-Rahmaanir-Rahim ...
Siang sudah sampai pada pertengahan.
Dan Ibu begitu anggun menjumpai saya di depan pintu. Gegas saya rengkuh
punggung tangannya, menciumnya lama. Ternyata rindu padanya tidak
bertepuk sebelah tangan. Ibu juga mendaratkan kecupan sayang di
ubun-ubun ini, lama.
"Alhamdulillah, kamu sudah pulang" itu ucapannya kemudian. Begitu masuk ke dalam rumah, saya mendapati ruangan yang sungguh bersih. Sudah lama tidak pulang.
Ba'da Ashar, "Nak, tolong angkatin panci, airnya sudah mendidih". Gegas
saya angkat pancinya dan dahipun berkerut, panci kecil itu diisi
setengahnya. "Ah mungkin hanya untuk membuat beberapa gelas teh saja"
pikir saya.
"Eh,tolongin bawa ember ini ke depan, Ibu mau
menyiram". Sebuah ember putih ukuran sedang telah terisi air, juga
setengahnya. Saya memindahkannya ke halaman depan dengan mudahnya. Saya
pandangi bunga-bunga peliharaan Ibu. Subur dan terawat. Dari dulu Ibu
suka sekali menanam bunga.
"Nak, Ibu baru saja mencuci sarung,
peras dulu, abis itu jemur di pagar yah" pinta Ibu. "Eh,bantuin Ibu
potongin daging ayam" sekilas saya memandang Ibu yang tengah bersusah
payah memasak. Tumben Ibu begitu banyak meminta bantuan, biasanya beliau
anteng dan cekatan dalam segala hal.
Sesosok wanita muda,
sedang menyapu ketika saya masuk rumah sepulang dari ziarah. "Neng.."
itu sapanya, kepalanya mengangguk ke arah saya. "Bu, siapa itu...?"
tanya saya. "Oh itu yang bantu-bantu Ibu sekarang" pendeknya.
Dan saya semakin termangu, dari dulu Ibu paling tidak suka mengeluarkan
uang untuk mengupah orang lain dalam pekerjaan rumah tangga. Pantesan
rumah terlihat lebih bersih dari biasanya.
Dan, semua
pertanyaan itu seakan terjawab ketika saya menemaninya membaca al-qur'an
selepas maghrib. Tangan Ibu gemetar memegang penunjuk yang terbuat dari
kertas koran yang dipilin kecil, menelusuri tiap huruf al-qur'an.
Dan mata ini memandang lekat pada jemarinya. Keriput, urat-uratnya
menonjol jelas, bukan itu yang membuat saya tertegun. Tangan itu terus
bergetar. Saya berpaling, menyembunyikan bening kristal yang tiba-tiba
muncul di kelopak mata.
Mungkinkah segala bantuan yang ia minta
sejak saya pulang, karena tangannya tak lagi paripurna melakukan banyak
hal? "Dingin" bisik saya, sambil beringsut membenamkan kepala di
pangkuannya. Ibu masih terus mengaji, sedang tangan kirinya membelai
kepala saya. Saya memeluknya, merengkuh banyak kehangatan yang
dilimpahkannya tak berhingga.
Adzan isya berkumandang, ...
Ibu berdiri di samping saya, bersiap menjadi imam. Tak lama suaranya
memenuhi udara mushala kecil rumah. Usai shalat, saya menunggunya
membaca wirid, dan seperti tadi saya pandangi lagi tangannya yang terus
bergetar. "Duh Allah, sayangi Mamah" spontan saya memohon.
"Neng..." suara ibu membuyarkan lamunan itu, kini tangannya terangsur di
depan saya, kebiasaan saat selesai shalat, saya rengkuh tangan berkah
itu dan menciumnya.
"Tangan ibu kenapa?" tanya saya pelan.
Sebelum menjawab, ibu tersenyum manis sekali. "Penyakit orang tua.
Sekarang tangan ibu hanya mampu melakukan yang ringan-ringan saja, irit
tenaga" tambahnya.
Udara semakin dingin. Bintang-bintang di
langit kian gemerlap berlatarkan langit biru tak berpenyangga. Saya
memandangnya dari teras depan rumah. Ada bulan yang sudah memerak sejak
tadi. Malam perlahan beranjak jauh. Dalam hening itu, saya membayangkan
senyuman manis Ibu sehabis shalat isya tadi.
Apa maksudnya? Dan
mengapakah, saya seperti melayang. Telah banyak hal yang dipersembahkan
tangannya untuk saya. Tangan yang tak pernah mencubit, sejengkel apapun
perasaannya menghadapi kenakalan saya.
Tangan yang selalu
berangsur ke kepala dan membetulkan letak jilbab ketika saya tergesa
pergi sekolah. Tangan yang selalu dan selalu mengelus lembut ketika saya
mencari kekuatan di pangkuannya saat hati saya ber gemuruh.
Tangan yang menengadah ketika memohon kepada Allah untuk setiap ujian
yang saya jalani. Tangan yang pernah membuat bunga dari pita-pita
berwarna dan menyimpannya di meja belajar saya ketika saya masih kecil
yang katanya biar saya lebih semangat belajar.
Sewaktu saya
baru memasuki bangku kuliah dan harus tinggal jauh darinya, suratnya
selalu saja datang. Tulisan tangannya kadang membuat saya mengerutkan
dahi, pasalnya beberapa huruf terlihat sama, huruf n dan m nya mirip
sekali.
Ibu paling suka menulis surat dengan tulisan sambung.
Dalam suratnya, selalu Ibu menyisipkan puisi yang diciptakannya sendiri.
Ada sebuah puisinya yang saya sukai. Ibu memang suka menyanjung :
Kau adalah gemerlap bintang di langit malam ..
Bukan!, kau lebih dari itu ..
Kau adalah pendar rembulan di angkasa sana, ..
Bukan!, kau lebih dari itu, ..
Kau adalah benderang matahari di tiap waktu, ..
Bukan!, kau lebih dari itu ..
Kau ada lah Sinopsis semesta ..
Itu saja ...
Tangan ibunda adalah perpanjangan tangan Tuhan. Itu yang saya baca dari
sebuah buku. Jika saya renungkan, memang demikian. Tangan seorang
ibunda adalah perwujudan banyak hal : Kasih sayang, kesabaran, cinta,
ketulusan ..
Pernahkah ia pamrih setelah tangannya menyajikan
masakan di meja makan untuk sarapan? Pernahkan Ia meminta upah dari
tengadah jemari ketika mendoakan anaknya agar diberi Allah banyak
kemudahan dalam menapaki hidup?
Pernahkah Ia menagih uang atas
jerih payah tangannya membereskan tempat tidur kita? Pernahkah ia
mengungkap balasan atas semua persembahan tangannya? Pernahkah ..?
Ketika akan meninggalkannya untuk kembali, saya masih merajuknya "Bu, ikutlah ke jakarta, biar dekat dengan anak-anak".
"Ah, Allah lebih perkasa di banding kalian, Dia menjaga Ibu dengan baik
di sini. Kamu yang seharusnya sering datang, Ibu akan lebih senang"
Jawabannya ringan.
Tak ada air mata seperti saat-saat dulu melepas saya pergi. Ibu tampak lebih pasrah, menyerahkan semua kepada kehendak Allah.
Sebelum pergi, saya merengkuh kembali punggung tangannya, selagi sempat
, saya reguk seluruh keikhlasan yang pernah dipersembahkannya untuk
saya. Selagi sisa waktu yang saya punya masih ada tangannya saya ciumi
sepenuh takzim. Saya takut, sungguh takut, tak dapati lagi kesempatan
meraih tangannya, meletakannya di kening.
*IBUMU adalah Ibunda darah dagingmu ..
Tundukkan mukamu ..
Bungkukkan badanmu ..
Raih punggung tangan beliau ..
Ciumlah dalam-dalam ..
Hiruplah wewangian cintanya ..
Dan rasukkan ke dalam kalbumu ..
Agar menjadi azimah bagi rizki dan kebahagiaan ...
- *Puisi Emha Ainun Najib -
Wallahu a'lam bishshawab, ..