Bismillahir-Rahmaanir-Rahim …
Setiap pagi, selesai adzan shubuh, suara
berderak sapu lidi menyentuh tanah, adalah musik harianku. Bukan aku
yang melakukannya, tetapi Sumi, tetangga depan rumahku.
Wanita
sederhana usia 42 tahun itu selalu menyapu halaman rumahku, setiap pagi,
hampir selalu. Mungkin dalam setahun ia hanya cuti melakukan aktivitas itu 3 atau 4 kali.
Aku pernah bertanya padanya: ..
"Bagaimana mungkin kamu sudah memegang sapu, sedangkan jamaah sholat dimasjid belum pulang ?"
Saat itu aku pulang dari shubuhan di masjid, dan ia telah menyelesaikan sebagian besar halaman rumahku dengan sapu lidinya.
"Saya bangun sebelum shubuh, menjerang air, lalu berwudhu. Begitu adzan, saya langsung shubuhan lalu ambil sapu ..."
Waah ...
Kucontohkan pada anak-anakku, kisah itu. Bahwa semestinya setiap orang berpagi-pagi menjemput rizki seperti mbak Sumi.
"Tapi kenapa mbak Sumi hidupnya begitu-begitu saja ..." tanya anakku.
Aku faham apa yang dia maksudkan dengan begitu-begitu saja ... Anakku
belum bisa melihat kehidupan secara utuh. Barangkali juga banyak orang
lain melihatnya demikian. Biar lebih jelas kuceritakan saja.
Sumi adalah janda cerai dengan satu anak. Ia hidup bersama ibunya yang
sudah renta. Mereka tinggal di sebuah rumah kecil yang dibangun dari
hasil bantuan untuk korban gempa, persis di tanah kas milik Desa, di
depan rumahku. Anak semata wayangnya barusan lulus STM dan telah
diterima bekerja di sebuah pabrik pertambangan di Kaltim.
Sehari-hari Sumi bekerja di sebuah pabrik mebel, pemasok eksport ke
beberapa negara. Aku mengenalnya 6 tahun yang lalu, sejak kami pindah
rumah ke kampung ini. Awalnya aku melihat Sumi biasa saja, sebagaimana
banyak perempuan desa yang telah tinggal di kampung ini sebelum kami
datang.
Perawakannya kurus, tingginya sedang, kulitnya
kecoklatan karena setiap hari mengayuh sepeda berangkat dan pulang ke
pabriknya yang berjarak sekitar 5 km dari tempat tinggalnya. Namun tidak
disangka, perawakannya yang kurus menyimpan tenaga yang sangat besar.
Ia biasa mengangkat mebel2 berat untuk dimuat di kontainer.
Sumi cukup pendiam, bicara seperlunya saja. Ia tidak pintar berbasa-basi
atau beramah tamah. seolah ia terlahir hanya untuk bekerja. Pada
awalnya, aku mengira ia tidak ramah. Namun setelah beberapa waktu, aku
menghargai kedisiplinannya.
Setiap pagi, tepat jam 07.00 ia
pasti sudah mengayuh sepeda menuju pabriknya. Nanti sekitar jam 16.00,
ia akan kembali tiba di rumah. Kadang jika lembur ia pulang sekitar jam
18.30.
Pada jadwal normal, ia bersegera membereskan pekerjaan
rumahnya, meladeni orang tuanya dan membersihkan dirinya. Lalu saat
adzan maghrib berakhir, ia sudah sampai di rumahklu, bersiap menyeterika
baju.
Aku pernah bertanya padanya ; ..
" Adzan magrib baru selesai, kok kamu sudah sampai sini ? Apa kamu sudah sholat maghrib ?"
"Saya mandi dan berwudhu sebelum maghrib, lalu begitu adzan, saya
langsung sholat maghrib tanpa menunggu usai adzan, setelah itu langsung
ke sini ..."
Waah ...
Lantas ia menyeterika cucian
orang serumahku yang menggunung. Kadang usai jam 21.00. Jika sangat
banyak, kadang usai jam 22.00. Hasil seterikaannya rapi.
"Jam berapa kamu istirahat?"
" Nanti sepulang dari sini, nyuci baju sebentar trus istirahat ..."
......
Melihat kegigihannya menghidupi dirinya, ibunya dan anaknya, itulah aku
bersimpati. Pada suatu hari, empat tahun yang lalu, ia tengah menyapu
halaman dan aku menghampirinya.
"Anakmu sudah lulus SMP, mau melanjutkan dimana ...?"
"Tidak melanjutkan bu, saya tidak kuat membiayai sekolah SMU. Uang masuknya tidak sedikit ...."
"Anakmu harus sekolah, jaman sekarang kalau hanya lulusan SMP mau jadi
apa. Kamu suruh daftar dia ke STM, biar nanti bisa langsung kerja. Biar
aku carikan biaya". Sejak itu aku punya anak asuh, anaknya Sumi.
Begitulah, anaknya ternyata cukup berprestasi sehingga, begitu lulus,
ia lolos seleksi langsung disalurkan mengikuti pelatihan di Jakarta
selama 3 bulan, lalu bekerja di pabrik pertambangan. Dan beberapa bulan
setelah dikirim ke Samarinda, untuk pertama kalinya ia pulang dari
Kaltim dengan naik pesawat ...
.......
Sampai disini, apakah anda bisa memahami ceritaku yang centang perenang ini.
Sesungguhnya rizki itu, tidak selalu berbentuk materi, yang orang lain melihatnya dengan standar tertentu.
Sumi perempuan lugu, single parents. Ia hanya menapaki hari-harinya,
tanpa banyak keinginan dan tuntutan. Sejak dulu sepeda kayuhnya tidak
pernah ganti. Sejak dulu rumahnya tidak pernah direnovasi, dan nyaris
aku tidak pernah melihat dia piknik kemanapun.
Namun ia mensyukuri banyak hal.
Ia selalu sehat dan kuat melakoni kewajibannya, nyaris jarang sakit. Itu adalah rizki yang tak ternilai oleh harta.
Ia bisa menyekolahkan anak hingga mendapat pekerjaan yang sesuai.
Anaknya bisa sekolah sampai lulus. Itu adalah bagian dari rizkinya.
Bahkan saat usai gempa yang merobohkan rumahnya, ia mendapat bantuan
uang dari perusahaannya yang lebih besar dari yang diterima
teman-temannya. Uang itu, sekitar 4,5 juta, mungkin baginya cukup besar
nilainya, ia serahkan pada kami, aku dan suamiku : ...
"Bapak, ini uang dari perusahaan, tolong dipakai untuk membangun kembali rumah saya"
Dan suamiku mengiyakan saja, hingga dengan berbagai cara jadilah sebuah rumah tembok kecil ukuran 5 x 6 meter.
Saat orang tuanya juga mendapat dana Pokmas untuk korban gempa, ia
membangun 1 rumah lagi, bahkan kini mereka punya dua rumah kecil yang
berdampingan.
Bukankah itu rizkinya ...?
Mungkin orang
melihat, tak ada yang berubah dari kehidupan hariannya. Seperti pagi
ini, ia masih saja menyapu menembus dingin. Dan tak lama lagi ia akan
mengayuh sepeda, menuju pabriknya. Dan nanti sore ia telah hadir
menyeterika.
Namun aku tahu, ia menikmati semua itu. Dalam
hatinya ada kebanggaan mengingat anak semata wayangnya, yang telah bisa
mencari penghidupan, walau jauh di seberang, sementara anak lain
seusianya, masih merengek kepada orang tuanya.
- Sumber: pkspiyungan.org -
Wallahu a'lam bishshawab, ..
... Semoga tulisan ini dapat membuka pintu hati kita yang telah lama terkunci ...