Bismillahir-Rahmaanir-Rahim ...
Ayahku meninggal saat aku masih kecil,
lalu ibulah yang merawatku. Ia bekerja sebagai pembantu di rumah-rumah
hingga dapat membiayaiku. Aku adalah anak tunggalnya. Ia memasukkan aku
ke sekolah, dan aku belajar hingga menyelesaikan studi di universitas.
Saat itu aku berbakti kepadanya. la datang untuk
mengirimku ke luar negeri, dan ia melepaskan kepergianku dengan air
mata sembari berkata kepadaku, “Ingatlah, wahai putraku, terhadap dirimu
dan jangan memutus beritamu dariku. Berkirimlah surat kepadaku hingga
aku merasa tentram dengan kesehatanmu.”
Aku menyelesaikan
studiku setelah menempuh waktu yang panjang dan aku kembali ke tanah air
sebagai pribadi lain yang telah terpengaruh dengan peradaban Barat. Aku
melihat keterbelakangan dalam agama, dan aku menjadi tidak beriman
kecuali dengan kehidupan materi – kita berlindung kepada Allah-.
Aku mendapatkan pekerjaan yang berkelas, dan aku mulai mencari istri
hingga aku memperolehnya. Sebenarnya ibu telah memilihkan untukku
searing gadis yang taat beragama lagi memelihara diri, tapi aku hanya
mau menikah dengan wanita kaya lagi cantik itu karena aku mengimpikan
kehidupan aristokrat.
Sekitar enam bulan sejak perkawinanku,
istriku mernperdaya ibuku hingga aku mernbenci ibuku. Suatu hari, aku
masuk rumah, dan ternyata istriku menangis, lalu aku bertanya kepadanya
tentang sebabnya, maka ia menjawab, “Cukup sampai di sini aku dan ibumu
berada di rumah ini. Aku tidak bisa bersabar terhadapnya lebih diri
itu.”
Aku pun gelap mata, dan aku mengusir ibuku dark rumah
pada saat marah. Ibu pun pergi dalam keadaan menangis sambil berkata,
“Semoga Allah membahagiakanmu, wahai putraku.”
Lihatlah betapa
besar dan belas kasihnya hati ibu. Kendatipun anak tunggalnya telah
mengusirnya diri rumah secara zhalim dan melampaui batas, namun sang ibu
tetap mendoakannya dengan kebahagiaan dalam hidup ini.
Penutur
kisah melanjutkan, beberapa jam setelah itu, aku keluar untuk
mencarinya, tapi tidak ada gunanya. Aku pun kembali ke rumah, cdn
istriku, dengan makarnya dan kebodohanku, mampu melupakanku dari ibu
yang berharga lagi utama itu.
Berita ibuku terputus dariku
dalam satu masa. Dalam masa itu aku tertimpa penyakit yang menjijikan.
Setelah itu, aku masuk rumah sakit, dan ibuku mengetahui berita itu lalu
datang menjengukku.
Saat itu istriku di sisiku. Sebelum
menjengukku, ia diusir oleh istriku, dan mengatakan kepadanya, “Putramu
tidak ada di sini. Apa yang engkau inginkan dari kami. Pergilah dari
kami.”
Ibu pun pergi dari tempat kedatangannya. Aku keluar dari
rumah sakit setelah waktu lama yang menyebabkan kondisi kejiwaanku
berkurang. Aku kehilangan pekerjaan dan rumah serta utangku bertumpuk.
Semua itu disebabkan istriku. Ia membebaniku dengan tuntutannya yang
banyak.
Pada akhirnya, istriku yang cantik itu menolak dan
mengatakan, “Selama engkau telah kehilangan pekerjaan dan hartamu serta
kedudukan di masyarakat tidak kembali lagi kepadamu, maka aku nyatakan
dengan tegas kepadamu: Aku tidak menginginkanmu. Aku tidak
menginginkanmu. Ceraikanlah aku.”
Kata-kata yang aku dengar
darinya ini bak petir yang menyambar kepalaku. Aku pun langsung
menceraikannya. Saat aku bangun dari tidur nyenyak yang biasa aku
jalani, dan aku keluar dalam keadaan bersedih untuk mencari ibuku, yang
pada akhirnya aku menemukannya… Tapi di mana aku menemukannya?!
Ia tinggal di salah satu Ribath. Ribath adalah tempat berkumpul
orang-orang yang tidak memiliki tempat tinggal dan tidak memiliki orang
yang mengurusi mereka. Mereka makan dan minum dari sedekah. Aku
menemuinya, ternyata aku mendapatinya pucat karena tangisan.
Begitu aku melihatnya, aku langsung menjatuhkan diri di dekat kakinya
dan menangis dengan tangisan yang pahit. Tidak ada yang dilakukannya
kecuali ikut menangis bersamaku. Kami tetap seperti ini sekitar satu jam
penuh.
Setelah itu, aku membawanya ke rumah, dan aku
bersumpah pada diriku bahwa aku akan senantiasa mematuhinya. Sebelum
itu, aku menaati perintah-Nya, menjauhi larangan-laranganNya.”
Wallahu a'lam bishshawab, ..
... Semoga tulisan ini dapat membuka pintu hati kita yang telah lama terkunci ...