Bismillahir-Rahmaanir-Rahim. ...
Gadis itu melangkah dalam gang kecil
sempit yang ramai, ada beberapa ibu-ibu sedang mengerubuti gerobak si
tukang sayur, ada anak kecil berpakaian seragam sedang tertawa-tawa,
bercanda sambil berjalan beriringan di depannya.
Tampak sesekali motor melintas dan melewati gadis itu dipacu hati-hati oleh pengemudi yang berjuang menstabilkan kendaraannya di jalanan yang berbatu dan berlubang di mana-mana.
Gadis bernama Larasati itu tetap berusaha berjalan di tepi meski
tubuhnya hampir bersentuhan dengan dinding tembok tinggi gedung besar
yang berada di sebelah gang itu.
Ia takut menghalangi jalan
motor-motor yang mau lewat, ia kuatir tubuhnya tersenggol ibu-ibu yang
berbelanja sambil mengobrol dengan asyik, ia takut kalau semua itu
benar-benar terjadi dan terpaksa bersuara, anak-anak yang tertawa
gembira di depannya akan ketakutan mendengarnya dan berlari di atas
batu-batu tajam itu.
Bajunya terkena noda air AC yang jatuh
menetes dari dinding gedung. Laras hanya tersenyum, menepuk sedikit
untuk mencegah tetesan lain singgah ke pundaknya sambil bergegas
melanjutkan langkah. Tak apalah, yang penting ia kini hampir sampai di
depan gang.
Tepukan di bahu Laras membuatnya menoleh. Gadis
manis itu tersenyum pada seorang ibu tua. Ibu penjaja nasi uduk
keliling. Laras mengangguk hormat.
“Sudah sarapan? Mau beli?” Bibir si ibu bergerak-gerak bertanya sambil menunjukkan keranjang besar yang ditentengnya.
Laras kembali mengangguk. Tangannya mengambil uang dari dalam kantung
seragam kerjanya. Lembaran lima ribuan pun berpindah ke tangan si ibu,
yang menggantinya dengan salah satu bungkusan nasi uduk dalam kantung
plastik kecil. Laras memasukkan plastik berisi bungkusan nasi uduk ke
dalam tas ranselnya.
Dengan senyum tak lepas dari wajahnya,
Laras kembali berjalan lebih ke tepi. Tepat saat itu melintas bis kota
yang ia tunggu. Tangannya berayun-ayun menyetop dan dengan tergesa ia
melompat naik. Belum lagi ia duduk, bis sudah kembali berjalan membuat
tubuh Laras bergoyang.
Tangannya mencengkeram kuat sandaran
kursi penumpang sebelum menghempaskan tubuhnya di salah satu kursi yang
kosong. Bis bergerak pelan, sesekali berhenti ketika penumpang naik dan
turun. Berganti-ganti. Tapi karena hari baru dimulai, lebih banyak yang
naik daripada turun. Tak heran, tak sampai beberapa menit, bis kosong
itu kini mulai disesaki penumpang.
Laras yang sedari tadi
menatap keluar jendela, pun menoleh meliriki para penumpang yang
berdiri. Seorang ibu hamil berdiri dekat pintu bis, tampak susah payah
berpegangan dengan kedua tangannya.
Wajah perempuan itu
memerah. Sesekali ia memegangi perutnya seakan melindungi agar tak
terjepit oleh tubuh-tubuh yang berdiri di belakangnya karena terdorong
oleh gerakan bis yang kadang-kadang mengejutkan.
Seperti sadar
sedang diperhatikan, tatapan Laras bertemu dengan si ibu hamil yang
menoleh padanya. Laras tersenyum padanya dan memberi isyarat ‘mau duduk
di sini?’ dengan gerakan tangan menunjuk ke kursi dan ibu muda itu pun
mengangguk.
Laras pun berdiri dan bergerak maju. Tapi seorang pemuda tanggung langsung menempati kursi kosong itu tanpa bertanya-tanya.
“Haaai!! Peegiii!!!! Iiittuuu!” Suara lantang Laras mengejutkan semua
orang tak terkecuali si ibu hamil yang kelihatan shock. Laras tak
peduli. Tangannya bergerak-gerak memberi isyarat menunjuk ke arah si ibu
hamil dengan mata melotot pada pemuda itu.
Tatapan terkejut
orang-orang mendengar suara aneh keras yang dikeluarkan Laras pun
beralih pada si pemuda. Pemuda itu tampak malu dan kembali berdiri. Lalu
si ibu hamil pun duduk.
Si Ibu hamil menghela nafas lega
sambil mengelus perutnya. “Amit amit jabang bayi,” bisiknya sambil
menoleh ke arah lain. Tak sedikitpun si ibu hamil itu menatap ke arah
Laras lagi. Mungkin dia takut anak yang dikandungnya akan seperti Laras
hingga tak berani melihat ke arah Laras, meski sekedar mengucapkan
terima kasih.
Laras hanya tersenyum. Kembali berkonsentrasi
menatap jalan raya yang mulai macet. Ia sudah terbiasa. Ditatap dengan
aneh bahkan terkesan jijik. Bahkan terkadang berusaha dihindari. Laras
sudah tahu, inilah yang terjadi kalau mereka mendengar suaranya yang
lebih terdengar seperti lenguhan.
Satu dua penumpang mulai
turun. Laras mulai bersiap-siap dan memperhatikan halte yang telah
dilewati. Dua halte lagi, ia akan sampai ke tujuannya dan Laras
mengeluarkan uang koin dari sakunya.
Tepat ketika bis hampir
sampai, Laras mengetuk-ngetuk koin ke salah satu besi sandaran kursi.
Bis berhenti dan Laras pun turun dengan langkah cepat. Ia tak mau
terjatuh lagi karena ketidaksabaran si sopir yang sedang mengejar
setoran. Dulu ia pernah mengalaminya dan lama sekali luka karena kakinya
yang patah bisa sembuh. Sekarang sesekali rasa ngilu selalu datang
kalau ia terlalu banyak berjalan.
Di depan gedung kantor
tempatnya bekerja, Laras berhenti dan matanya beredar mencari-cari.
Seseorang yang dicarinya sedang duduk sambil berkipas, bersandarkan
pagar tembok batu yang bertuliskan nama gedung di belakangnya.
Laras mendekati lelaki berseragam oranye itu. Ketika sampai, Bapak itu
menyadari kedatangan Laras dan tersenyum lebar. Laras membalasnya sambil
mengeluarkan kantung plastik berisi nasi bungkus. Bapak itu menerimanya
dan berterima kasih. Laras hanya tersenyum lalu kembali menuju gedung
kantornya lagi.
Laras masuk melalui pintu pejalan kaki. Ada pos
keamanan yang ia lewati sambil menunjukkan badge karyawan, seorang
petugas mengangguk padanya sementara dua petugas lain sibuk memeriksa
salah satu mobil yang sedang masuk.
Dekat pintu masuk, Laras
berbelok. Memasuki sebuah pintu yang membawanya turun ke bagian parkir
bawah tanah. Suasana masih sedikit gelap dan sepi. Hanya terlihat
beberapa karyawan lain juga memasuki pintu yang sama. Tapi tidak seperti
yang lain, Laras tidak langsung memasuki ruangan kecil tetap para
petugas cleaning service berganti pakaian. Ia menuju ruang mushola kecil
yang tampak berantakan.
Tangannya yang mungil sibuk
mengumpulkan mukena yang teronggok di sudut ruangan dan memasukkannya
dalam plastik, merapikan buku-buku tuntunan sholat dan Al Qur’an yang
dimasukkan dalam lemari terbuka secara asal-asalan.
Setelah
itu, ia mengambil bungkusan plastik dari dalam tas ranselnya yang berisi
mukena yang baru dicuci dan digantungnya dengan rapi di sudut shaf
wanita.
Dirapikannya letak karpet bergambar sajadah berjajar
itu. Ia juga menyemprot dan menyikat tempat air wudhu yang lantainya
kecoklatan karena bekas jejak-jejak kaki, mengganti plastik tempat
sampah depan mushola yang sudah penuh dengan yang baru.
Senyumnya mengembang puas melihat hasil kerjanya sebelum kembali menuju ruangan tempat para petugas cleaning service.
Kepala Laras menunduk sedikit. Hanya satu dua kali senyum tipisnya
terlihat ketika berpapasan dengan rekan kerjanya. Seperti biasa, ia
selalu menghindari meeting pagi. Meeting yang membahas pembagian tugas.
Seperti biasa pula, ia selalu mendapatkan tugas terberat. Tapi Laras
lebih suka seperti itu. Karena tugas berat akan membuatnya sibuk
seharian, tidak sempat disuruh-suruh oleh para karyawan gedung kantor
yang suka marah padanya karena ketidakmampuannya.
Meski bukan
rahasia lagi, sebagian petugas cleaning service lebih suka melayani
perintah para karyawan itu dibandingkan mengerjakan pekerjaan utama
mereka.
“Lebih enak disuruh beli sarapan atau makan siang
daripada kerja. Bisa dapet tambahan uang lagi.” Begitu alasan mereka.
Alasan yang tak pernah didengar Laras, namun dipahaminya berkat
pengalamannya selama ini.
Tapi itu berbeda untuk Laras. Dia
lebih sering dimarahi karena para karyawan itu tak suka mendengar
suaranya, tak suka karena proses komunikasi sepuluh kali lebih berat
dibandingkan petugas yang lain. Karena itulah, Laras selalu menerima
saja apapun tugas yang tersisa untuknya.
Tanpa melihat papan
pembagian tugas pun Laras tahu apa yang harus ia kerjakan. Dengan
santai, ia berganti pakaian dan mengambil peralatannya.
Hujan
rintik membasahi sebagian teras gedung ketika Laras pulang kerja.
Sebagian karyawan kantor masih terlihat duduk-duduk di lobi, yang lain
menunggu di depan teras sambil merokok menghangatkan tubuh. Untunglah,
Laras selalu membawa payung kecil. Dan ia pun menoleh pada
teman-temannya yang berdiri berjajar berteduh di bawah kanopi parkiran.
“Um …” bisiknya sambil menunjuk pada payungnya.
Temannya menggeleng, yang lain juga. Salah satu menjawab, “Udah, gak usah!”
Laras hanya tersenyum. Dan membuka payungnya. Ia melangkah menuruni tangga teras gedung ketika seseorang menepuk bahunya.
“Hei! Aku ikut sampe halte!” kata pria itu sambil menerobos ke sebelah Laras, melindungi kepalanya dari rintik hujan.
Tubuh Laras menegang. Ia tak biasa berdiri begitu dekat dengan pria
selain berhimpitan dalam bis. Tapi pria itu sudah melangkah dan Laras
harus berjuang keras mengikuti langkahnya yang cepat dan tergesa-gesa.
Akibatnya justru sebagian pundak dan celana panjang Laras tersiram air
hujan.
Begitu sampai di halte, si pria berlari melompat
menghindari genangan air namun memercikkan air hujan ke wajah Laras,
sebelum akhirnya menghilang di antara kerumunan orang-orang yang
berteduh di halte. Tanpa terima kasih atau setidaknya senyuman yang
ramah.
Laras tak sempat mencarinya karena tepat saat itu bisnya
lewat. Ia pun segera berlari berusaha cepat untuk bisa masuk ke pintu
bis. Meski kali ini ia harus berdiri, Laras bersyukur ia masih bisa ikut
menumpang.
Hujan membuat jalanan makin macet. Seliweran
motor-motor yang tak lagi peduli guna trotoar sesungguhnya, semakin
menambah semrawut suasanan jalanan.
Keluhan, makian dan sumpah
serapah saling berpacu di antara deru gas kendaraan. Suara hujan yang
khas dan udara dingin yang menyertainya tak lagi terdengar atau terasa,
karena di dalam bis yang padat penumpang, justru terasa menyesakkan dan
panas.
Laras memilih turun dekat rel kereta api ketika bis
terhenti karena papan rintang. Ia tak tahan lagi dan lebih memilih turun
walaupun harus berjalan kaki sedikit. Dadanya terasa sesak menghirup
udara penuh asap rokok dari seorang Bapak yang tak peduli kehadiran
orang lain di dalam bis. Tapi tangannya tak sempat membuka payung karena
bis sudah hampir melaju lagi ketika ia turun. Ia pun berlari kecil
menuju sebuah warung. Warung yang juga dipenuhi orang-orang berteduh.
Suara sirene peringatan kereta lewat masih mengaung nyaring.
Laras berdiri di antara kerumunan sambil melirik ke dalam warung nasi
tegal yang juga penuh di bagian dalam. Ia ingin membeli makanan untuk
makan malam tapi suasana di dalam kelihatannya tak mengizinkan karena
penuh sesak. Laras pun tetap berdiri di luar, memperhatikan hujan sambil
menunggunya reda.
Apa kabar Ibu dan adik-adikku di panti sekarang?
Apa mereka masih suka bermain hujan? Dahlia yang manis, sudah seperti
apa dia sekarang? Atau Elok yang bandel, masihkah dia suka menjahili
Sandra dan Risma yang cengeng?
Bibir Laras bergerak tersenyum.
Mengingat adik-adiknya di panti asuhan yang menjadi tempat tinggalnya
dulu sejak dibuang orangtuanya. Mereka selalu bisa membuatnya tersenyum.
Adik-adik yang terpaksa ia tinggali untuk bisa bekerja.
Merekalah keluarganya, orang-orang yang selalu mengingatkannya kalau
Laras tak pernah hidup sendiri di dunia ini. Dalam dunianya yang hening
dan sepi, dalam kebisuan yang takkan pernah berujung.
Mata
Laras menangkap sesuatu yang ganjil. Sebuah batang besi tampak
tergeletak melintang di salah satu rel. Tak terlihat karena rintik hujan
dan posisinya sedikit terlindung. Laras terkesiap. Sebentar lagi kereta
akan melewati rel itu dan letak batangan besi lumayan besar yang tampak
sedikit menancap itu bisa membahayakan kereta.
Tanpa peduli
rinai hujan yang makin deras, Laras berlari menerobos hujan. Ia berlari
mendekati batang besi besar itu dan berusaha mengangkatnya. Berat. Laras
berdiri. Berteriak-teriak meminta bantuan.
Tak ada seorang
pun yang datang karena mereka malah menatapnya kaget mendengar suaranya
yang aneh. Laras berusaha lagi. Rupanya kali ini beberapa pria melihat
yang ia lakukan dan mereka mulai berlarian mendekati Laras.
Sekuat tenaga Laras tetap memeluk batang besi itu dan berhasil. Meski
hanya menggeser beberapa senti, tapi besi itu tak lagi berada di dalam
rel.
Tapi Laras tak mendengar suara teriakan orang-orang yang
memperingatkannya kalau kereta akan lewat. Laras tak mendengar apapun,
bahkan suara sirene yang meraung-raung, suara petugas yang terus
berteriak memperingatinya.
Ketika kereta sudah begitu dekat,
Laras baru menyadari kehadirannya. Kakinya spontan melompat menghindar.
Ia bergerak menuju rel kosong di sebelah rel yang akan dilewati kereta.
Berhasil.
Sayangnya, kaki Laras terpeleset saat menjajaki
batu-batu yang basah di sekeliling rel. Tubuhnya terhempas, dan
kepalanya membentur keras rel kereta. Darah mengalir deras keluar dari
bagian belakang kepala Laras.
Laras masih berkedip ketika
tetes-tetes air hujan mulai membasahi wajahnya. Ia masih bisa merasakan
dinginnya air segar, rezeki Allah SWT yang mengiringi nafasnya yang
mulai berat.
Tiba-tiba Laras merasa lelah. Ia ingin tidur,
tenggelam abadi dalam dunia yang hening, terbaring dalam diam. Ia ingin
kembali, ingin ke tempat di mana ia tak perlu lagi melihat tatapan
mengejek, ingin tahu atau menghina. Ia tak perlu takut lagi, karena di
sana ia tahu surga sesungguhnya sedang menunggu.
Laras tahu, di
balik ketidaksempurnaannya sebagai manusia, Allah sedang melindunginya
dari kejahatan karena kedua panca inderanya yang tak pernah ia ketahui.
Laras bersyukur di sela nafas terakhirnya. Karena ia tak mendengar
teriakan panik orang-orang yang ingin menolongnya. Laras bersyukur ia
tidak bisa mendengar sejak lahir dan menjadi bisu karena tak tahu apa
itu suara.
Laras bersyukur karena ketika malaikat kematian itu
mulai menutup bayang-bayang penglihatannya, ia sama sekali tidak takut.
Kematian itu menyakitkan, namun tak menggentarkan hati Laras yang
pasrah.
Ia benar-benar diam ketika bayang-bayang gelap sempurna menutupi pandangannya lalu nafasnya yang menderu pun berhenti.
Esok pagi, si ibu penjaja nasi uduk akan kehilangan pelanggan setianya
yang sebenarnya selalu sarapan pagi setiap hari dan Bapak penyapu jalan
tak lagi kebagian jatah sarapannya, musholla akan berantakan dan entah
siapa lagi yang akan mau membersihkannya dengan ikhlas.
Mereka
yang selama ini selalu berharap pada bantuan Laras, esok akan sadar
kalau ia sudah tak ada. Ia telah pergi, di tengah rinai hujan yang
menangisi kepergian si bidadari baik hati.
Wallahu’alam bishshawab, ..
BY MAS WID