Bismillahir-Rahmaanir-Rahim
Dear All, Rasanya ini baik untuk
direnungkan setiap kita yang merasa "berkecukupan" dan selalu "dimanja"
oleh Tuhan.
----------------
Dari pinggir kaca nako, di
antara celah kain gorden, saya melihat lelaki itu mondar-mandir di depan
rumah. Matanya berkali-kali melihat ke rumah saya.Tangannya yang
dimasukkan ke saku celana, sesekali mengelap keringat di keningnya.
Dada saya berdebar menyaksikannya. Apa maksud remaja yang bisa jadi
umurnya tak jauh dengan anak sulung saya yang baru kelas 2 SMU itu?
Melihat tingkah lakunya yang gelisah, tidakkah dia punya maksud buruk
dengan keluarga saya? Mau merampok?
Bukankah sekarang ini
orang merampok tidak lagi mengenal waktu? Siang hari saat orang-orang
lalu-lalang pun penodong bisa beraksi, seperti yang banyak diberitakan
koran. Atau dia punya masalah dengan Yudi, anak saya?
Kenakalan
remaja saat ini tidak lagi enteng. Tawuran telah menjadikan puluhan
remaja meninggal. Saya berdoa semoga lamunan itu salah semua. Tapi
mengingat peristiwa buruk itu bisa saja terjadi, saya mengunci seluruh
pintu dan jendela rumah.
Di rumah ini, pukul sepuluh pagi
seperti ini, saya hanya seorang diri. Kang Yayan, suami saya, ke kantor.
Yudi sekolah, Yuni yang sekolah sore pergi les Inggris, dan Bi Nia
sudah seminggu tidak masuk.
Jadi kalau lelaki yang selalu
memperhatikan rumah saya itu menodong, saya bisa apa? Pintu pagar rumah
memang terbuka. Siapa saja bisa masuk.
Tapi mengapa anak muda
itu tidak juga masuk? Tidakkah dia menunggu sampai tidak ada orang yang
memergoki? Saya sedikit lega saat anak muda itu berdiri di samping tiang
telepon. Saya punya pikiran lain.
Mungkin dia sedang menunggu
seseorang, pacarnya, temannya, adiknya, atau siapa saja yang janjian
untuk bertemu di tiang telepon itu. Saya memang tidak mesti berburuk
sangka seperti tadi. Tapi dizaman ini, dengan peristiwa-peristiwa buruk,
tenggang rasa yang semakin menghilang, tidakkah rasa curiga lebih baik
daripada lengah?
Saya masih tidak beranjak dari persembunyian,
di antara kain gorden, di samping kaca nako. Saya masih was-was karena
anak muda itu sesekali masih melihat ke rumah. Apa maksudnya? Ah,
bukankah banyak pertanyaan di dunia ini yang tidak ada jawabannya.
Terlintas di pikiran saya untuk menelepon tetangga. Tapi saya takut
jadi ramai. Bisa-bisa penduduk se-kompleks mendatangi anak muda itu. Iya
kalau anak itu ditanya-tanya secara baik, coba kalau belum apa-apa ada
yang memukul.
Tiba-tiba anak muda itu membalikkan badan dan
masuk ke halaman rumah. Debaran jantung saya mengencang kembali. Saya
memang mengidap penyakit jantung. Tekad saya untuk menelepon tetangga
sudah bulat, tapi kaki saya tidak bisa melangkah. Apalagi begitu anak
muda itu mendekat, saya ingat, saya pernah melihatnya dan punya
pengalaman buruk dengannya.
Tapi anak muda itu tidak lama di
teras rumah. Dia hanya memasukkan sesuatu ke celah di atas pintu dan
bergegas pergi. Saya masih belum bisa mengambil benda itu karena kaki
saya masih lemas.
* * *
Saya pernah melihat anak muda
yang gelisah itu di jembatan penyeberangan, entah seminggu atau dua
minggu yang lalu. Saya pulang membeli bumbu kue waktu itu. Tiba-tiba di
atas jembatan penyeberangan, saya ada yang menabrak, saya hampir jatuh.
Si penabrak yang tidak lain adalah anak muda yang gelisah dan
mondar-mandir di depan rumah itu, meminta maaf dan bergegas mendahului
saya. Saya jengkel, apalagi begitu sampai di rumah saya tahu dompet yang
disimpan di kantong plastik, disatukan dengan bumbu kue, telah raib.
Dan hari ini, lelaki yang gelisah dan si penabrak yang mencopet itu,
mengembalikan dompet saya lewat celah di atas pintu. Setelah saya
periksa, uang tiga ratus ribu lebih, cincin emas yang selalu saya simpan
di dompet bila bepergian, dan surat-surat penting, tidak ada yang
berkurang.
Lama saya melihat dompet itu dan melamun. Seperti
dalam dongeng. Seorang anak muda yang gelisah, yang siapa pun saya pikir
akan mencurigainya, dalam situasi perekonomian yang morat-marit seperti
ini, mengembalikan uang yang telah digenggamnya. Bukankah itu ajaib,
seperti dalam dongeng. Atau hidup ini memang tak lebih dari sebuah
dongengan?
Bersama dompet yang dimasukkan ke kantong plastik
hitam itu saya menemukan surat yang dilipat tidak rapi. Saya baca surat
yang berhari-hari kemudian tidak lepas dari pikiran dan hati saya itu.
Isinya seperti ini:
"Ibu yang baik, maafkan saya telah
mengambil dompet Ibu. Tadinya saya mau mengembalikan dompet Ibu saja,
tapi saya tidak punya tempat untuk mengadu, maka saya tulis surat
ini, semoga Ibu mau membacanya.
Sudah tiga bulan saya berhenti
sekolah. Bapak saya di-PHK dan tidak mampu membayar uang SPP yang
berbulan-bulan sudah nunggak, membeli alat-alat sekolah dan memberi
ongkos.
Karena kemampuan keluarga yang minim itu saya berpikir
tidak apa-apa saya sekolah sampai kelas 2 STM saja. Tapi yang membuat
saya sakit hati, Bapak kemudian sering mabuk dan judi buntut yang
beredar sembunyi-sembunyi itu.
Adik saya yang tiga orang,
semuanya keluar sekolah. Emak berjualan goreng-gorengan yang dititipkan
di warung-warung. Adik-adik saya membantu mengantarkannya. Saya
berjualan koran, membantu-bantu untuk beli beras.
Saya sadar,
kalau keadaan seperti ini, saya harus berjuang lebih keras. Saya mau
melakukannya. Dari pagi sampai malam saya bekerja. Tidak saja jualan
koran, saya juga membantu nyuci piring di warung nasi dan kadang (sambil
hiburan) saya ngamen.
Tapi uang yang pas-pasan itu (Emak
sering gagal belajar menabung dan saya maklum), masih juga diminta Bapak
untuk memasang judi kupon gelap. Bilangnya nanti juga diganti kalau
angka tebakannya tepat. Selama inibelum pernah tebakan Bapak tepat. Lagi
pula Emak yang taat beribadah itu tidak akan mau menerima uang dari
hasil judi, saya yakin itu.
Ketika Bapak semakin sering meminta
uang kepada Emak, kadang sambil marah-marah dan memukul, saya tidak
kuat untuk diam. Saya mengusir Bapak. Dan begitu Bapak memukul, saya
membalasnya sampai Bapak terjatuh-jatuh. Emak memarahi saya sebagai anak
laknat. Saya sakit hati. Saya bingung. Mesti bagaimana saya?
Saat Emak sakit dan Bapak semakin menjadi dengan judi buntutnya, sakit
hati saya semakin menggumpal, tapi saya tidak tahu sakit hati oleh
siapa. Hanya untuk membawa Emak ke dokter saja saya tidak sanggup. Bapak
yang semakin sering tidur entah di mana, tidak perduli. Hampir saya
memukulnya lagi.
Di jalan, saat saya jualan koran, saya sering
merasa punya dendam yang besar tapi tidak tahu dendam oleh siapa dan
karena apa. Emak tidak bisa ke dokter. Tapi orang lain bisa dengan mobil
mewah melenggang begitu saja di depan saya, sesekali bertelepon dengan
handphone. Dan di seberang stopan itu, di warung jajan bertingkat,
orang-orang mengeluarkan ratusan ribu untuk sekali makan.
Maka
tekad saya, Emak harus ke dokter. Karena dari jualan koran tidak cukup,
saya merencanakan untuk mencopet. Berhari-hari saya mengikuti bus kota,
tapi saya tidak pernah berani menggerayangi saku orang. Keringat dingin
malah membasahi baju. Saya gagal jadi pencopet.
Dan begitu saya
melihat orang-orang belanja di toko, saya melihat Ibu memasukkan dompet
ke kantong plastik. Maka saya ikuti Ibu. Di atas jembatan
penyeberangan, saya pura-pura menabrak Ibu dan cepat mengambil dompet.
Saya gembira ketika mendapatkan uang 300 ribu lebih.
Saya
segera mendatangi Emak dan mengajaknya ke dokter. Tapi Ibu, Emak malah
menatap saya tajam. Dia menanyakan, dari mana saya dapat uang. Saya
sebenarnya ingin mengatakan bahwa itu tabungan saya, atau meminjam
dari teman. Tapi saya tidak bisa berbohong. Saya mengatakan sejujurnya,
Emak mengalihkan pandangannya begitu saya selesai bercerita.
Di
pipi keriputnya mengalir butir-butir air. Emak menangis. Ibu, tidak
pernah saya merasakan kebingungan seperti ini. Saya ingin berteriak.
Sekeras-kerasnya. Sepuas-puasnya.
Dengan uang 300 ribu lebih
sebenarnya saya bisa makan-makan, mabuk, hura-hura. Tidak apa saya jadi
pencuri. Tidak perduli dengan Ibu, dengan orang-orang yang kehilangan.
Karena orang-orang pun tidak perduli kepada saya. Tapi saya tidak bisa
melakukannya. Saya harus mengembalikan dompet Ibu. Maaf."
Surat tanpa tanda tangan itu berulang kali saya baca. Berhari-hari saya
mencari-cari anak muda yang bingung dan gelisah itu. Di setiap stopan
tempat puluhan anak-anak berdagang dan mengamen. Dalam bus-bus kota. Di
taman-taman. Tapi anak muda itu tidak pernah kelihatan lagi. Siapapun
yang berada di stopan, tidak mengenal anak muda itu ketika saya
menanyakannya.
Lelah mencari, di bawah pohon rindang, saya
membaca dan membaca lagi surat dari pencopet itu. Surat sederhana itu
membuat saya tidak tenang. Ada sesuatu yang mempengaruhi pikiran dan
perasaan saya.
Saya tidak lagi silau dengan segala kemewahan.
Ketika Kang Yayan membawa hadiah-hadiah istimewa sepulang kunjungannya
ke luar kota, saya tidak segembira biasanya.Saya malah mengusulkan
oleh-oleh yang biasa saja.
Kang Yayan dan kedua anak saya
mungkin aneh dengan sikap saya akhir-akhir ini. Tapi mau bagaimana, hati
saya tidak bisa lagi menikmati kemewahan. Tidak ada lagi keinginan saya
untuk makan di tempat-tempat yang harganya ratusan ribu sekali makan,
baju-baju merk terkenal seharga jutaan, dan sebagainya.
Saya
menolaknya meski Kang Yayan bilang tidak apa sekali-sekali. Saat saya
ulang tahun, Kang Yayan menawarkan untuk merayakan di mana saja. Tapi
saya ingin memasak di rumah, membuat makanan, dengan tangan saya
sendiri.
Dan siangnya, dengan dibantu Bi Nia, lebih seratus
bungkus nasi saya bikin. Diantar Kang Yayan dan kedua anak saya,
nasi-nasi bungkus dibagikan kepada para pengemis, para pedagang asongan
dan pengamen yang banyak di setiap stopan.
Di stopan terakhir
yang kami kunjungi, saya mengajak Kang Yayan dan kedua anak saya untuk
makan bersama. Diam-diam air mata mengalir dimata saya.
Yuni
menghampiri saya dan bilang, "Mama, saya bangga jadi anak Mama." Dan
saya ingin menjadi Mama bagi ribuan anak-anak lainnya.
Wallahu’alam bishshawab, ..
... Semoga tulisan ini dapat membuka pintu hati kita yang telah lama terkunci ...
Barakallahu fikum ..
by mas wid