Bismillahir-Rahmaanir-Rahim ...
Sejak berhijab beberapa tahun lalu, aku
tergila-gila mengoleksi aneka jenis kerudung. Kulahap semua artikel
mengenai kerudung mode terbaru. Sungguh kepuasan tersendiri ketika aku
bisa tetap tampil modis dengan berbagai gaya hijab keren yang tak kalah
dengan para selebriti.
Apalagi pekerjaan yang kugeluti memaksaku
untuk selalu tampil dengan gaya. Sebagai seorang Public Relation
tempatku bekerja, aku sering bertemu banyak orang. Walaupun sempat
diragukan oleh para rekan kerjaku, namun perlahan-lahan aku berhasil
mengubah image mereka tentang hijab.
Akhirnya banyak dari
teman-temanku yang tertular dengan kebiasaanku berhijab karena ingin
terlihat sepertiku, cantik dan anggun begitu kata mereka.
Tapi
Ummi-ku selalu complaint setiap kali aku membeli kerudung yang baru.
Tangannya langsung terjulur meminta kerudungku yang lama kalau aku
membeli kerudung mode terbaru. Kalau aku beli dua, maka aku harus
merelakan dua kerudung lamaku untuk diberikan pada Ummi. Begitu terus
sampai-sampai kami jadi sering berdebat.
“Lemarimu sudah penuh,
kalau tidak dikurangi ke mana lagi kau taruh kerudung-kerudungmu itu?”
kata Ummi. Tangannya sibuk melipat-lipat kerudung-kerudung bekas yang
terpaksa kuserahkan.
“Tapi Ummi, aku masih bisa mix and match kerudung lama dan kerudung baru kan?”
“Iya, Ummi tahu. Tapi kau punya hampir semua warna dan jenis, jadi
kerudung-kerudung yang makin jarang kau pakai sebaiknya kasih ke Ummi
daripada menuh-menuhin lemari,” kata Ummi tak peduli.
“Untuk apa sih, Ummi?” tanyaku dengan bibir merengut.
“Ya daripada disia-siakan dalam lemari saja. Mubazir.”
Dan biasanya perdebatan selalu dimenangkan Ummi yang akan segera
membawa kerudung lama yang terpaksa kuberikan padanya. Entah untuk apa
ia mengumpulkan kerudung-kerudung lama milikku itu. Mungkin
disumbangkan, atau mungkin juga dibikin lap. Aku tak peduli lagi.
Biar saja yang penting Ummi tak memarahiku. Setelah beberapa kali
terjadi seperti itu, aku memilih tak bertanya lagi untuk apa. Lebih baik
kulakukan saja apa mau Ummi selama dia tidak keberatan aku terus
menerus belanja kerudung-kerudung model terbaru.
Suatu pagi ketika aku sedang sarapan pagi, aku melihat Ummi sibuk menulis sesuatu di buku agendanya.
“Sibuk amat, Mi!”
“Hmm …” Ummi tetap asyik menulis tanpa mengangkat wajahnya sama sekali.
Aku baru ingat, hari ini adalah jadwal pengajian yang hampir tiap
minggu dipimpin oleh Ummi. Mungkin Ummi sedang menyiapkan segala
sesuatunya untuk pengajian tersebut. Kalau sudah mengenai urusan dengan
pengajian, Ummi memang selalu seserius itu.
Kuhabiskan segera
sarapan pagi itu tanpa banyak bicara lagi. Percuma saja, kalau Ummi
sudah asyik seperti itu. Meskipun aku berharap, Ummi mau melihatku
sebentar dan memberikan pendapatnya tentang penampilanku hari ini.
Aku bahkan membeli kerudung berwarna biru muda yang indah sekali untuk
menyempurnakan hijabku. Ada dua pertemuan yang kuhadiri hari ini dan aku
selalu percaya pada penilaian mata Ummi yang jeli, kalau dia bilang aku
cantik maka itu artinya aku cantik.
Tapi sepertinya aku harus
menelan kecewa. Ummi tak sedikitpun memandangku dan malah membuat sebuah
daftar di kertas yang kosong. Seperti susunan nama-nama orang. Mungkin
itu daftar peserta pengajian.
“Mi, aku kerja dulu ya. Assalamualaikum!” kataku lesu sambil berdiri. Sedikit kecewa karena tak diacuhkan.
“Penampilanmu hebat sekali hari ini, Nak. Semoga meeting-mu berhasil
ya. Waalaikum salam,” ucap Ummi tiba-tiba ketika aku hampir tiba di
ambang pintu keluar. Aku berbalik, tersenyum ketika melihat Ummi
menatapku di balik kacamatanya yang sedikit melorot. Sorot matanya
menatapku penuh cinta dan kekaguman seperti biasa.
Ummi tak
melupakanku. Dia ingat jadwalku dan dia juga melihatku hari ini. Aku
salah kalau menganggap Ummi lupa padaku. Kata-kata Ummi benar-benar
berarti bagiku. Pemacu semangat untuk berjuang keras hari ini.
Bukan main senangnya hatiku. Semuanya berjalan sesuai rencana.
Meeting-ku berhasil dan penampilanku menjadi kekaguman semua orang.
Sekarang saatnya bagiku menyenangkan hati Ummi, dengan melibatkan diri
pada acara yang menjadi tanggung jawabnya. Pengajian itu.
Siapapun tahu sejak Abi tiada, Ummi menenggelamkan kehidupannya untuk
mengurusku dan kegiatan keagamaan. Dia menjadi ketua Majelis Pengajian
di lingkungan tempat kami tinggal. Padahal tak mudah beradaptasi di
lingkungan yang sebagian masyarakatnya ’sangat’ jauh dari kegiatan
keagamaan seperti pengajian.
Lingkungan kami ini lebih banyak
dihuni oleh masyarakat kalangan bawah yang hidupnya sehari-hari
bergantung pada usaha. Sedikit sekali warga lingkungan ini yang bekerja
di kantoran sepertiku atau alm. Abi dulu, kebanyakan tetangga kami
hanyalah pedagang keliling atau pengepul sampah.
Abi dan Ummi
memang sedikit aneh. Dulu mereka membeli rumah ini karena belum mampu
membeli rumah yang bagus. Setelah mereka mampu untuk membeli rumah yang
jauh lebih baik lingkungannya, Abi dan Ummi hanya menempatinya beberapa
tahun saja.
Dengan alasan tak betah, Ummi meminta Abi kembali
ke rumah kami yang lama. Sampai sekarangpun meski sudah kubujuk
berulangkali untuk pindah, Ummi tetap mengatakan tidak.
Makanya, aku tahu benar pasti pengajian yang diselenggarakan Ummi sepi
seperti biasa. Paling-paling hanya belasan orang yang hadir. Aku sering
sekali melihat bagaimana mereka tersenyum setengah meringis ketika Ummi
bertanya kenapa mereka tak hadir saat kami tak sengaja berpapasan di
jalan. Malu-malu, sambil menyembunyikan wajah, Ibu-ibu itu rata-rata
menjawab ada kesibukan.
“Sudah miskin, malah menjauh dari Allah. Ya bagaimana gak tambah susah?” gerutuku saat itu.
“Hush! Gak boleh gitu ah.” Ummi menyenggol bahuku. Ia menatap punggung
salah satu ibu yang baru saja berpapasan dengan kami. “Mungkin dia
memang benar-benar punya alasan yang tepat, yang tak bisa dijelaskan
dengan kita,” sambung Ummi penuh pengertian.
Hari ini, Ummi
memulai hariku dengan baik dan aku ingin Ummi juga tahu kalau aku sangat
peduli padanya. Karena itu aku ingin membantu Ummi mengurus segala
persiapan pengajiannya. Toh hanya sedikit bantuan kecil saja.
Tapi sampai di depan rumah, aku melihat sesuatu yang berbeda. Tenda!
Ummi mendirikan tenda di depan halaman rumah. Hanya untuk sebuah
pengajian yang akan dihadiri belasan orang, Ummi bahkan harus mendirikan
tenda? Ini benar-benar membuatku heran. Ummi ini ada-ada saja.
Di dalam ruang tamu, karpet-karpet telah digelar dengan rapi sekali.
Sofa dan kursi telah dipinggirkan hingga ke dinding, sementara
barang-barang dekorasi ruang tamu yang lain telah dipindahkan ke dalam
kamar-kamar. Ruangan itu jadi lebih lega sekarang.
Aku
bertanya-tanya, kenapa Ummi harus menyiapkan tempat seluas ini bahkan
hingga mendirikan tenda? Ini benar-benar di luar dugaanku.
“Waah, pulang kok tidak ngucapin salam, Nduk?” suara Ummi membuyarkan kebengonganku.
Aku menoleh. “Assalamulaikum, Ummi.” Kucium tangan Ummi sambil memberinya salam.
“Waalaikumsalam.”
“Yang datang ini banyak ya, Mi?” tanyaku bingung.
Ummi malah mengedarkan pandangan sambil tersenyum-senyum.
“Mudah-mudahan. Tapi untung kamu datang cepat, Fah. Kebetulan Ummi perlu
bantuan untuk ngurusin di dapur nanti kalau acaranya sudah dimulai,
kamu mau bantuin si Bibik kan?”
Aku mengangguk. Kecil ini sih. Bantu-bantu di dapur berarti bisa sekalian mengisi perutku juga. Tentu saja aku sanggup.
Tepat pukul 2 siang, tamu-tamu Ummi mulai berdatangan. Awalnya yang
datang adalah para anggota tetap pengajian Ummi yang telah kukenal baik.
Ketika waktu berlalu, aku menyadari kalau perkiraan Ummi benar. Hari
ini para tamu yang menghadiri pengajian berjumlah lebih banyak dari
sebelumnya.
Ruangan tamu makin lama makin terlihat menyempit
saat satu persatu mereka datang dan mulai duduk memenuhi ruangan. Lalu
kesibukan berpindah ke tenda, bunyi kursi-kursi beradu saat dikeluarkan
dari susunan mereka dan suara dengung orang-orang yang berbicara satu
sama lain.
Ini … benar-benar mengejutkan. Lantunan suara orang
yang mengaji memenuhi rumah kami dan sekitarnya. Tanpa bantuan pengeras
suara, lantunan pengajian terdengar merdu dan nyaring.
Kudukku
merinding saat mendengar kekompakan suara para wanita yang berkumpul
bersama, melantunkan doa-doa wirid, surat yassin dan sholawat. Ummi
benar-benar hebat. Entah bagaimana caranya, ia berhasil mengumpulkan
orang-orang sebanyak ini. Pandanganku tentang masyarakat lingkungan
rumah kami yang jauh dari Allah, langsung berubah drastis.
“Ini
berkat kerudung-kerudungmu, Nak,” jawab Ummi ketika malam itu aku
bertanya bagaimana caranya dia mengumpulkan orang sebanyak itu.
“Hah?” Mulutku ternganga. Apa hubungannya?
“Ibu-ibu di sini bukannya tak mau mengaji. Tapi mereka malu karena tak
punya jilbab yang pantas. Mau beli tapi tak mampu. Sementara yang ada
pun terbatas karena harus dipakai juga untuk sehari-hari. Padahal
berkali-kali Ummi sudah bilang, tak apa-apa pakai yang ada, tetap saja
mereka merasa malu.
Nah karena itulah Ummi dan teman-teman
Ummi yang lain sepakat untuk mengumpulkan kerudung dan baju muslim yang
masih bagus untuk dibagikan pada mereka. Alhamdulillah, ternyata mereka
senang sekali menerima bantuan itu.”
“Benarkah?”
“Malah ada yang bilang, senang bisa dapat kerudung bekas anak Ummi yang
kata mereka seperti model di televisi itu. Mereka jadi ikut ngerasa
cantik dan bangga karena memakai kerudung yang sama denganmu. Apalagi
kondisi kerudung koleksimu kan selalu kelihatan baru karena hanya
dipakai beberapa kali,” tutur Ummi tanpa sengaja menyindirku.
Aku terdiam. Aku ingat tadi sore aku memang sempat melihat beberapa
kerudung yang membungkus kepala para jamaah pengajian itu mirip seperti
milikku dulu. Tapi aku tak mengira kalau kerudung-kerudung itu
benar-benar pernah menghias kepalaku juga.
Ummi sudah asyik
dengan bacaannya lagi. Sementara pikiranku melayang jauh ke awal, saat
dulu pertama kali mengenakan hijab. Saat itu, aku mengukir janji di
hatiku sendiri. Hijab bukan sekedar penutup auratku, juga untuk
memberikan waktu lebih banyak untuk mendekatkan diri pada Allah.
Seiring waktu aku mulai melupakan janji itu. Aku malah terjebak dalam
kegiatan yang mengatasnamakan agama, namun malah mengutamakan
kepentinganku sendiri. Apa yang sudah kulakukan selama ini selain
terjebak dalam kehidupan bermewah-mewah? Jajaran koleksi kerudung di
lemariku sudah menjadi bukti betapa dangkalnya aku memandang guna hijab
yang sesungguhnya.
Aku malu pada Ummi, malu pada Allah dan malu
pada orang-orang di sekitarku. Dengan cara Ummi yang membuatku memahami
bahwa kerudungku akan lebih berguna untuk orang lain, aku ingin kembali
pada janjiku dulu.
“Ummi,” bisikku sambil merangkul bahu Ummi.
“Apa, Sayang?”
“Ummi masih perlu kerudung bekas gak? Atau baju-baju muslim mungkin?” tanyaku pelan.
Ummi tak menjawab. Malah mendongak menatapku dengan senyuman penuh arti. “Kau mengerti sekarang, Sayang?”
Kuanggukkan kepala dan memeluk Ummi. Terima kasih Ummi, terima kasih untuk pelajaranmu hari ini.
*****
Wallahu’alam bishshawab,
BY MAS WID